Ruang Tumbuh & Bersenang-Senang

Mana Yang Lebih Berat, Naik Gunung Atau Naik Pelaminan?

19

MP : “Aku mau naik gunung.”
S     : “Nggak ngajak aku? Gunung mana?”
MP : “Belum tau, emang mau?”
S     : “Hmm, jangankan naik gunung, diajak naik pelaminan aja aku mau.”

Yah, itu adalah sepenggal percakapan saya dan Mas Partner sekitar akhir Juli atau awal Agustus 2015. Saat itu belum ada rencana gunung mana yang akan didaki. Masih sebatas wacana yang seringnya take it easy. 😀

Agustus menjadi bulan di mana saya nostalgia tentang momen bersejarah, momen peralihan status dari lajang menjadi istri orang, momen serah terima tanggung jawab dunia akhirat dari ayah kepada lelaki langit pilihan Allah. Sebenarnya, saya dan Mas Partner bukan tipe yang harus ada ritual apalah-apalah. Namun, Agustus 2014 di tahun pertama kami menghabiskannya dengan menginap di pantai demi memburu milky way, apalah daya, perhitungan kami meleset. Agustus 2015, di tahun kedua akhirnya terealisasi dengan nuansa gunung. Ya, naik gunung. Gunung Ungaran.

Gunung Ungaran terletak di kabupaten Semarang, daerah Ambarawa dengan ketinggian 2.050 mdpl. Tidak terlalu tinggi bagi yang sudah profesional atau terbiasa naik gunung, tapi bagi pemula seperti saya, that is unspoken, guys! Saat itu, jalur yang kami lewati dari pos mawar, letaknya di atas umbul sidomukti. Bagi yang berminat naik gunung Ungaran, bisa dicek untu jalur pendakiannya di sini, karena ada beberapa jalur pendakian.

Persiapan 

Masa persiapan ini bagi saya bisa dikategorikan sangat singkat. Bukan hanya mempersiapkan peralatan-peralatan dan bahan makanan untuk bertahan, tetapi juga mempersiapkan fisik dengan olahraga dan persiapan mental, lebih persiapan etika saat naik gunung. Yaaa, semacam memantaskan diri untuk bisa menuju puncak, meski realitanya tidak bisa sampai puncak karena kebakaran.

Masa persiapan ini penting, seperti halnya mempersiapkan peralatan yang akan dibawa. Bagi pendaki yang rutin naik gunung, memiliki tenda, kompor, matras, sleeping bag dkk adalah hal wajib. Nah, karena Mas Partner suka naik gunung tapi tidak rutin jadilah untuk tenda kami harus searching di dunia maya outlet yang menyewakan tenda dom. Alhamdulillah, sleeping bag, matras, carrier sudah siap tinggal bongkar lemari. 😀

Persiapan lainnya, yaitu persiapan fisik dengan olahraga. Jogging hampir tiap hari, push up, sit up, dan bersepeda. Paling sering sih jogging. Lanjut dengan persiapan mental. Saya memaknai persiapan mental ini lebih kepada persiapan untuk mentadabburi ciptaan Allah, mensyukuri kehadiran alam yang indah, menjaganya dengan tidak membuang sampah sembarangan atau pura-pura lupa dengan sampah yang ditinggal begitu saja, lebih jauh lagi memaknai perjalanan naik gunung itu sendiri.

Naik-Naik Ke Puncak Gunung

Well, setelah semua persiapan mencapai 100%, ayoooo angkat carrier! Ternyata oh ternyata, naik gunung itu tidak semudah yang saya bayangkan sebelumnya. Saat berangkat, medannya tentu saja menanjak. It has made me hard to breath. It really has. Saat itu pun punggung saya tidak terbebani dengan barang bawaan, semua barang-barang dalam carrier ada di punggung Mas Partner, ia yang mengambil alih. Sudah pasti jauh lebih berat daripada saya, but he always make sure that everything will be fine for me, for us. Jalan yang ditapaki pun tak selalu mulus, nggak ada jalan aspal ya 😀 ada bagian yang berbatu, berpasir, berdebu, berselimut daun-daun yang gugur, dan ada yang sedikit terjal. Ada kalanya sampai di titik di mana disuguhi pemandangan yang memanjakan dan ada kalanya ada pemandangan yang menyuguhkan sedikit rasa takut dengan pohon-pohon yang rimbun, semak, rumput-rumput yang tinggi atau bahkan suara-suara khas rimba.

Saat telah sampai di tempat camping, ada semacam pembagian tugas meski tidak terang-terangan ‘ini tugasmu dan ini tugasku’ melainkan sudah paham dengan tugas masing-masing. We are a solid team. 

IMG_5107 (FILEminimizer)*dokumentasi pribadi

Tidur dalam tenda di alam terbuka, walaupun sudah ada sleeping bag tapi kerasnya tanah yang kena punggung juga gak bisa menipu. Jelas beda empuknya kasur di rumah dengan saat camping. Di sisi lain, inilah kehidupan, ada masa perlu mencoba hal-hal luar biasa untuk berbagi rasa. Menjemput makna dan memaknai setiap detik yang ada.

Bagi saya, hal yang paling susah adalah keberadaan kamar mandi. Pagi hari saat matahari mulai naik dan usai sarapan, untuk bertemu kamar mandi harus berjalan selama 1,5 jam dengan kecepatan ala saya hingga desa terdekat. Itu rasanya luar biasa. Teringat sore sehari sebelumnya, Mas Partner dan satu sahabat perjalanan kami harus menempuh jarak yang jauh untuk bisa mendapatkan air.

Perjalanan Pulang

Jika saat berangkat, medan yang dilalui menanjak maka saat turun jalan yang dilalui adalah tapak-tapak menurun. Terlihat mudah tapi juga tidak kalah berat. Berat menahan beban badan. Benar-benar harus ekstra sabar. Ditambah dengan debu yang makin beterbangan tanpa bisa dikendalikan serta terik yang lumayan. Semuanya tetap menyenangkan hingga sampai pos terakhir.

Proses perjalanan pulang, bukan hanya membawa barang-barang yang dibawa saat naik, namun juga saya, Mas Partner, dan dua sahabat saya juga membawa sampah yang ditinggalkan di sekitar area camping. Bahkan beberapa papan petunjuk dan pohon tumbang dengan posisi melintang juga menjadi korban tangan-tangan jahil. Di sini, kita diuji agar bisa menahan diri agar tidak merusak tetapi kita diberi tantangan untuk menahan diri dan sekuat tekad untuk menjaga dan merawat alam kita.

Tentang Naik Pelaminan

Memang terlihat berbeda sekali antara naik gunung dan naik pelaminan. Naik pelaminan itu mudah bagi tamu undangan, bagi pengantin perempuan agak susah-susah gampang jika memakai jarik :D. Eits, bukan naik pelaminan yang itu yang saya maksud. Naik pelaminan secara semiotik yang saya pikirkan. Naik pelaminan bagi dua insan yang memutuskan untuk menggenap separuh agama bagi saya adalah sebuah keputusan yang besar. Ada masa persiapan untuk sebuah tujuan memantaskan diri atas tanggung jawab yang akan dijalani. Banyak bekal yang harus dipersiapkan yang itu tak hanya soal materi.

Pernikahan yang tidak hanya antara 2 anak manusia, tetapi tentang menyatukan dan mengkeluargakan dua keluarga besar yang (mungkin) memiliki latar belakang yang (sangat) berbeda. Ada tanggung jawab, kewajiban, hak, dan tugas. Memahami bahwa rumah tangga adalah sebuah tim, harus bisa membangun kerjasama atau hal-hal yang besar lain.

Pernikahan juga merupakan proses saling memahami karakter pasangan. Jika saya, saya dihadapkan dengan seorang yang iriiiiiiit sekali bicara, romantis dengan kata-kata pun bisa dihitung tapi memiliki cara untuk romantis yang seringnya saya lewatkan. Lama-lama pun saya menyadari memang begitu cara Mas Partner beromantis. I love you just the way you are, Mas Partner. 😀

IMG_5124 (FILEminimizer)*dokumentasi pribadi dengan caption “Point of View in Life”

Dalam sebuah obrolan, teman saya pernah bilang bahwa jika ingin mengetahui karakter orang apalagi orang yang mau hidup dengan kita, ajaklah naik gunung. Dia akan banyak mengeluh, diam, optimis atau akan bagaimana reaksinya. Jika saat naik gunung saja dia banyak mengeluh, bagaimana saat (setelah) naik pelaminan dan melanjutkan menjalani hidup bersama? Ya, masuk logika pernyataan teman saya itu. *haha.

Pesan saya sih, jangan takut naik pelaminan. Niat baik akan menemukan jalannya dan akan lebih banyak lagi pintu-pintu kemudahan yang terbuka lebar-lebar.

Nah, setiap pertanyaan butuh jawaban: mana yang lebih berat, naik gunung atau naik pelaminan?

 

 

19 Comments
  1. Dessy Rilia says

    Naik gunuung… ampun dah, udeh capek-capek naik, disuruh turun lagi.. qiqiqi..

    1. riyanika says

      bener bangeeet Mbak 😀

  2. titintitan says

    Hmmm mana yaaa

    Naik gunung beberapa kali, naik pelaminan blm pnh. Jd g iso mbandinginlaah

    *ngeles :))

    1. riyanika says

      Kalau mau naik pelaminan kabar-kabar ya Mbak, setidaknya biar bisa kirim doa…^^

      1. titintitan says

        Hihi… Insya Allah. :”

        Doain banget yaa, *ngarep 😀

        1. riyanika says

          InsyaAllah jelas didoain ^^

  3. Deasy Sang Pemimpi says

    Hiks, pengen dua-duanya mbak Ciani.
    Naik gunung sama orang yg udah ngajakin sy naik pelamin 😄.
    Tp sygnya orang tersebut masih belum datang jua.
    Nampaknya ‘dia’ masih disimpan sm Allah 😊

    1. riyanika says

      Semoga Allah segera mempertemukan Mbak Dessy 🙂

  4. sakifah says

    berat dua-duanya mbak… -_-
    tapi semua indah pada waktunya…
    *berdo’a “waktunya” itu semakin dekat buat saya 😀

    1. riyanika says

      aamiin, semoga makin dekat Mbak 🙂

  5. coklatkismis says

    Naik gunung emang hosh hosh banget. Tapi kalo udah di puncak lelahnya menguap, meski turun dg kaki gemetar. 😀

    1. riyanika says

      iyaaa, capeknya pas sampai atas. capeknya turun terbayar pas di warung makan 😀

      1. coklatkismis says

        Bahahaha, betul sekaliii. Bakmiiii. Dan menemukan air. 😀

  6. Ismail Hasan says

    Suka banget dengan kalimat ini mbak

    “Niat baik akan menemukan jalannya dan akan lebih banyak lagi pintu-pintu kemudahan yang terbuka lebar-lebar.”

    Naik gunung emang seru, naik pelaminan belum tahu.. 😀

    1. riyanika says

      insyaAllah akan datang di waktu yang tepat… 😀

      1. Ismail Hasan says

        Hehe,. iya insyaAllah

  7. annisarah says

    Wiiih asik banget bisa naik gunung bareng pendamping hidup. Naik gunung nya jadi kayak simbol berlelah-lelah bareng gitu ya sampai puncak. Anyway, salam kenal Mbak 🙂

    1. riyanika says

      Salam kenal juga Mbak annisarah… ^^
      ada blogkah? tingalkan jejak alamat blogmu dong…

      1. annisarah says

        Ada mbak..main main ya ke blog ku annisarah.wordpress.com 🙂

Leave A Reply

Your email address will not be published.