Tepi Waktu
Kuibaratkan sebuah padang lapang, tempat yang pantas untuk menepi atau lebih tepatnya ditepikan, menyingkir atau lebih tepatnya disingkirkan dan tersingkir. Menepi-ditepikan, menyingkir-disingkirkan/te
Jika ingin ‘hidup’ di belantara ini, yang harus kumiliki adalah menebalkan esensi rasa percaya. Jika perlu, tiap mili sekon dari waktu yang ada, akan kugunakan untuk memeriksa rasa percayaku, menebal atau menipis?
Ada yang bilang jika sendiri itu sebuah keindahan dan aku takkan pernah menyangkal itu tetapi aku juga takkan mengingkari bahwa semua itu takkan berarti jika kesendirian itu datang tidak tepat pada waktunya. Saat aku ingin ditemani dan didengar, lantas aku mendapati diriku hanya sendiri, ditepikan di salah satu sudut waktu dengan berbagai alasan sebagai pembenaran. Lalu, yang kulakukan hanyalah menerima dan melogika. Merangkainya lalu merasakan dan akhirnya akan kutelan, kubunuh waktuku dengan sendirianku. Rasakanlah, betapa menyedihkan keadaan itu!!! Meski suatu saat nanti, saat aku mati, aku akan juga sendiri. Saat itu, aku tak kan meminta siapa pun untuk menemaniku. Tak seorangpun, meski itu adalah orang yang menjadikanku rusuk kanannya.
*Nb: Sebuah pesan cantik [menurutku] dari potongan sebuah lagu singgah di wall-ku, pesan yang dikirim oleh seorang sahabat karibku, memang tiba di saat yang [sangat] tepat, saat di mana aku harus menebalkan esensi rasa percaya diantara semakin tebalnya rasa rindu.
Malam minggu ‘terindah’,
semarak kota Never Ending Asia, 10 Juli 2010