Bahagia Itu (Tidak) Sederhana
Sekitar kurang lebih dua minggu lalu, saya bertemu dengan adik angkatan yang luar biasa tidak bisa saya gambarkan dengan kata-kata. Sebuah pertemuan yang memang sudah saya setting dari jauh-jauh hari yang sempat batal hingga dua kali, hingga akhirnya kami dipertemukan oleh sebuah nikmat bernama kesempatan. Kami bersepakat bertemu di sebuah kedai susu, sebut saja Kalimilk *haha* di tengah derai hujan yang menghiasi suasana sore saat itu.
Saya terakhir kali bertemu dengannya sekitar bulan November 2014 di tempat yang saya pikir semua orang tak menginginkannya, yap, saya bertemu dengannya di RS Panti Rapih dan sekitar dua minggu lalu saat dia menyapa dan menyalami saya, sosoknya tidak banyak berubah. Dia tetap saja seorang yang saya kenal sebagai sosok yang penuh semangat, optimis, dan punya banyak proyek yang sedang dibangunnya. Dulu saya tidak begitu dekat dengannya, tapi semoga dengan sebuah semangat ‘kerja’ di masa sekarang hingga nanti, kami bisa sedekat segelas susu hangat dan genggaman tangan.
Pembicaraan mengalir begitu saja, hingga saat itu saya bergumam bahwa bahagia itu sederhana. Sesederhana rentang waktu yang lama dibasuh dengan sebuah pertemuan yang tak lama. Bahagia itu sederhana, sesederhana ketika saya sangat ingin bertemu dengan semua sahabat saya satu persatu dan mendengarkan setiap kisah mereka. Sangat sederhana bukan?
Bahagia yang terasa sederhana itu akhirnya saya sadari bahwa saat itu saya dalam sebuah keadaan yang menerima, menerima kenyataan yang sesuai dengan ekspektasi saya sekaligus berada di antara rasa syukur. Lalu bagaimana bisa bahagia itu tidak sederhana?
“Mbak, coba pegang deh tanganku!”
“Kok ada getarannya? Kaya ada mesinnya.”
Dia yang di depan saya lantas tersenyum dan berkata, “Iya Mbak, jadi pembuluh arteri dan vena disambung, di jantungku juga. Ada di tiga bagian.”
Obrolan kami berlanjut hingga di scene tertentu saya dibuat kaget dengan penyampaian cerita yang ringan namun begitu berat sampai di telinga saya.
“Ini bekas luka jarum sewaktu cuci darah, Mbak. Jarumnya kira-kira sebesar pulpen itu. Karena harus 2x dalam seminggu, luka bekas jarum sebelumnya belum sembuh udah harus ditusuk lagi. Kalau sekarang aku udah pasang selang di perut trus ada semacam kran gitu untuk cuci darah mandiri, sehari 2x.”
Di tengah rasa penasaran, saya akhirnya berani bertanya kekuatan macam apa yang membuatnya bisa sangat menerima dan tetap begitu bersemangat menjalani hari-hari dengan aktifitas yang tidak sedikit serta saya masih kagum mendapati dia berucap “Aku bersyukur, Mbak. Teman-temanku dengan kondisi HB yang rendah kaya aku mereka harus transfusi. Mereka udah gak pipis, sedangkan aku masih bisa meski sedikit gak ada segelas aqua.”
Baginya, proses menerima adalah sebuah perjalanan rasa yang panjang, menjadi kuat dengan penuh semangat adalah usaha yang tiada pernah kita tahu seberapa banyak air mata yang dikeluarkan untuk meminta pada Sang Pemilik Daya untuk dianugerahkan pundak yang kuat dan langkah yang tegap. Kita tak pernah tahu, seberapa hebat orang-orang terdekatnya menghiburnya dengan tanpa air mata yang terlihat.
“Aku juga harus meng-cut mimpi dan cita-citaku, Mbak. Tapi bukan berarti aku diam aja, harus ada mimpi lain yang menggantikan dan usaha untuk mewujudkannya, yang penting terus bersyukur kan ya?”
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmat kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka pasti azabku sangatlah pedih.” (QS. 14:7).
Sebelum kami memutuskan untuk mengakhiri pertemuan kami, saya dihampiri pertanyaan, “Aku masih cantik kan Mbak?” Sambil ia tertawa kecil dan menunjukkan foto-foto para CKD Survivor yang secara usia masih muda tetapi terlihat (jauh) lebih tua dari usia yang sebenarnya.
Cerita dalam kehidupan kita adalah sebuah takdir yang bahkan kita sendiri tak mampu menerka pun merabanya. Selagi ada kesempatan, jangan biarkan menyerah pada keadaan atau merutukinya. Untuk bersyukur pun, terkadang kita hanya ingat ketika kita mendefinisikan sesuatu itu sebagai keadaan yang bahagia, khusus ini saya pun sering berada di posisi ini. Semoga bisa semakin berbenah diri dan senantiasa mampu mengambil saripati di setiap kejadian dalam kehidupan kita maupun cerita di sekeliling kita.
Jadi, bahagia itu sederhana ataupun tidak sederhana hanyalah bagaimana kita memandang dan menerima keadaan pada saat kita mendefinisikan bahagia itu sendiri.
Terus semangat dan berkarya, kawan!
Ohya, ingin kenalan dengan sosok yang saya ceritakan? Yuk, nonton video di sini https://www.youtube.com/watch?v=6qrhNKcKPyc ya 🙂
tetiba ikut merinding bacanya…. T_T betapa bahagia itu terletak pada setiap rasa syukur atas apa yang telah Allah berikan ke kita ya…
betul banget Mbak… 🙂
Bahasa Mbak Nika mulai berubah, menurutku. Hehe. Mulai agak sedikit lebih puitis. 🙂
belajar darimu.. 🙂
semoga bisa ada progress…hehe