Ruang Tumbuh & Bersenang-Senang

Rahasia Dongeng Kopi

13

Aku tak pernah lagi mengharapkan hal-hal yang megah dalam hidupku. Aku hanya menginginkan sebuah senyum sumringah tatkala aku menyatakan cinta lalu aku diterima, berlanjut pada sebuah langkah ringan dan kau digenggaman. Berteriak pada dunia bahwa aku cukup punya nyali dan mampu menaklukkanmu, setidaknya sekali saja atau mungkin kau dengan senang hati berkali-kali jatuh hati padaku.

“Kau, mau tidur lagi? Bahkan setelah minum kopi?”

“Lalu aku bisa apa selain tidur setelah aku berkali-kali dapat penolakan?”

“Apa dunia akan berakhir hanya karena penolakan?” Kalimat itu selalu saja ia ucapkan dengan posisi dan gaya yang sama. Duduk di atas kursi kesayangannya dengan kaki kiri di atas kaki kanannya sambal menikmati segelas susu dan ekspresi yang sangat menyebalkan.

“Oh, Ka, kamu sebaiknya lari aja. Lari dari kenyataan.” Teman baikku itu selalu mengaku bahwa gurauannya semata-mata untuk menghiburku yang telah tak terhitung lagi mendapat penolakan. Saat ia tertawa dengan penuh kepuasan, aku hanya bisa berbalik badan sambil melambaikan tangan kananku dan bersegera meninggalkannya.

Tidur setelah mendapat penolakan bagiku adalah ide yang bagus karena sejatinya tidur adalah sebuah kesempatan untuk melepas penat dan mengabaikan segala kenyataan dengan menggantikannya dengan khayalan. Membangun khayalan sepuas-puasnya meskipun setelh terbangun akan teringat kembali dan menerima kenyataan bahwa aku sudah meninggalkan dunia khayalan. Tak apa, setidaknya aku sudah cukup lega untuk melepas kekecewaan beberapa saat yang lalu.

***

“Ka, kau hanya akan menghabiskn malam minggumu hanya dengan duduk di kursi, menghadapi komputer dan kalender yang penuh dengan coretan ini?”

“Iya, kenapa?” Sambil melanjutkan corat-coret di kalender dan sticky note.

“Dengarkan aku! Ganti piyamamu ini dengan baju yang rapi dan paling nyaman. Lalu ganti sandal boneka Winnie The Pooh yang udah buluk itu dengan sepatu kets atau wedges-mu.” Dia melempar sandal kesayanganku hingga depan pintu kamarku. Dulu aku selalu berteriak jika Ruf melakukannya, tapi sekarang aku benar-benar sudah kebal.

“Pergilah keluar! Jalan-jalan sana!”

“Kenapa aku harus jalan-jalan? Aku sedang semangat untuk di rumah, menulis dan menikmati kopiku. Kau mengkhawatirkanku? Dengan penuh curiga aku menatapnya yang masih saja berdiri di sampingku.

“Iya, aku mengkhawatirkanmu.”

“Waaaaaaah, habis makan apa tadi? Aku terharu, Ruf.”

“Aku mengkhawatirkanmu, mengkhawatirkan kesehatan jiwamu.” Ruf mengucapkannya dengan ekspresi yang sangat menyebalkan dengan tawa yang memperlihatkan deretan giginya rapi.

Tawanya terhenti ketika ponselku berbunyi sebagai tanda bahwa ada sebuah pesan yang masuk. Pesan yang membuatku berbinar-binar untuk sesaat tapi membuat nyala api semangat padam sesaat setelah pesan aku buka dan selesai kubaca.

“Aku ditolak lagi.” Kuletakkan ponsel di atas meja dengan kasar dan kepala yang mendarat di atas meja yang cukup keras. “Kenapa aku ditolak lagi?”

Tak perlu waktu lama untuk berganti pakaian dan sandal seperti yang disarankan Ruf untukku. Aku seharusnya memang memiliki pelampiasan selain tidur setelah ditolak. Malam terlalu terang, purnama di langit terlalu sempurna untuk dilewatkan dan romantisme Jogja yang tiada pernah berhenti untuk dilewatkan dengan sembunyi di dunia mimpi dan khayalan.

Aku bagai butiran debu dalam lagu yang tak tahu arah tujuanku malam minggu ini. Aku hanya berkeliling dengan motor kesayangan menelusuri Selokan Mataram ke arah Outlet Biru yang tiada pernah sepi. Hingga tiba di perempatan, aku memutuskan untuk belok kiri dan terus kunikmati jalan yang kulewati. Membuang pandangan di luar seperti ini memang lebih sehat dibanding harus menangis di pojokan.

Di ujung jalan terlihat ringroad utara yang hamper menyapa yang itu artinya aku harus menikirkan rute berikutnya aku harus ke mana tapi sebelum purna jalan yang kulewati, ada sebuah papan nama dengan sebuah bangunan serta suasana yang unik. Seperti memiliki daya magis yang mampu membuatku memutuskan untuk berhenti dan masuk ke dalam.

DSC_0002_132
Dokumentasi Pribadi

Aku menarik sebuah kursi kayu yang tinggi di depan meja panjang seperti bar sambil mengedarkan pandangan ke depan dan sekelilingku. Di depanku banyak berjajar toples kopi dari berbagai jenis yang bisa ditebak dari mana semua biji kopi itu berasal.

“Selamat malam, Kak. Ingin pesan apa?” sapa seorang mas-mas yang masih muda dengan senyum yang ramah.

“Espresso dengan satu jenis kopi aja.”

Aku menikmati ritme suara mesin di depanku yang sedang dimainkan oleh mas-mas yang tadi menyapaku. Syahdu seperti rintik hujan dan akan menjadi paduan yang sempurna dengan aroma kopi diseduhan pertama. Romantis sekali bukan? Ditambah lagi, jika usahaku selama ini diterima meskipun hanya sekali saja.

Espresso pesananku tersaji di hadapan dengan sempurna. Cangkir yang tak sendiri, ia ditemani dengan sebuah biscuit manis dan gula. “Ah, malam ini hanya aku yang benar-benar sendiri, baru aja ditolak lagi pula.”

“Udah biasa ngopi ya Kak?”

“Iya.” Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sambal terus melempar pandangan kosong pada secangkir espresso yang terus saja kuaduk lalu sedikit demi sedikit aku nikmati dalam sruputan kecil.

“Kenapa memilih espresso untuk mala mini, Kak?”

“Entahlah, aku hanya menyempurnakan pahitnya hari ini setelah ditolak.” Aku hanya bergumam dan tak peduli apakah mas-mas yang ada di seberang meja itu benar-benar mendengarnya. Aku melihat mas-mas yang membuatkan secangkir espresso untukku menyapa orang-orang yang keluar dan masuk tempat ini, tetap dengan semangat dan senyum sumringah. Mas-mas yang akhirnya aku sadari setelah kesadaranku benar-benar pulih bahwa laki-laki yang ada di depanku ini adalah seorang barista dari kedai kopi bernama Dongeng Kopi.

***

Aku seperti memiliki rindu dan candu pada Dongeng Kopi. Di kesempatan ini aku berniat ke mengunjunginya dengan suasana hati yang berbeda, dengan suasana yang hati menerjemahkannya sebagai rasa bahagia. Rasa bahagia bahwa aku telah mengirimkan kesungguhan cintaku dan rasa lega bahwa aku masih produktif untuk bisa terus menciptakan cinta dalam karya. Ya, meskipun aku tahu kabar buruk lagi yang mungkin akan menghampiriku. “Ah, hadapi saja nanti” gumamku sambal bersiap-siap berangkat ke Dongeng Kopi.

Sebelum melewati pintu, di tempat parkir ada sebuah pesan untuk semua pelanggan yang memarkir motornya “Motor jangan dikunci stang, kunci saja hatimua ^^.” Betapa sambutannya sangatlah hangat, ramah, dan tak kaku.

Aku menarik kursi kayu tinggi di depan meja panjang seperti bar tepat di pintu masuk. Posisi ini menjadi favorit karena aku tak hanya menikmati setiap seduhan kopi tetapi juga menikmati sebuah tangan yang cakap meracik dan meramu berbagai olahan kopi yang siap dinikmati oleh setiap orang yang datang memesannya. Aku juga bisa menikmati berbagai macam kopi dari berbagai penjuru daerah di Indonesia.

“Semua kopi di dalam toples ini hanya sebagai display atau juga dijual?” tanyaku.

“Dua-duanya, Kak. Kali ini, mau pesan espresso lagi?” tetap dengan senyum ramah dan penuh semangat.

DSC_0001_190
Dokumentasi Pribadi

“Nggak, aku mau hot cappuccino. Apa bisa pakai kopi Kawah Ijen?” sambal menunjuk pada toples kopi bertuliskan “Kawah Ijen.”

“Bisa, Kak. Mohon ditunggu ya.”

“Hmmm, kenapa memilih jadi barista?” Pertanyaan yang tiba-tiba saja meluncur tapi aku pun mengakui bahwa aku selalu penasaran dengan hal-hal yang mungkin bagi sebagian besar orang adalah sebuah basa-basi belaka.

Passion, Kak. Jadi barista adalah passion. Bukan lagi sekedar hobi. Kalau hobi kan masih aka nada rasa bosan yang hinggap tapi kalua sudah passion nggak akan ada kata bosan karena dorongan terbesar dari sebuah passion adalah rasa cinta.”

Sang barista pun melanjutkan, “Dengan passion kita akan bisa meniupkan ruh dalam karya yang kita hasilkan. Bukan sebuah karya yang tanpa nyawa. Menjadi barista, saya belajar bagaimana bertahan dari putus asa. Belajar dari biji kopi yang sebelum ia menjadi biji, pohon kopi pun harus tahan tempa dari hama dan cuaca hingga menghasilkan biji kopi terbaik. Proses pengolahan kopi hingga proses menghidangkannya pun harus tahan tempa dari putus asa, menikmati proses belajar dengan tak sedikit kegagalan. Kenapa memilih cappuccino?”

“Cappuccino menggambarkan keseimbangan hidup. Terdiri atas sepertiga espresso, sepertiga susu dan sepertiga foam. Iya kan?

“Benar sekali.”

“Hanya ingin menikmati ritme hidup. Berusaha, membuktikan, lalu penolakan sebagai hasilnya. Sedih tapi akan tak sehat jika terus menerus menangis di pojokan atau tidur sepanjang hari demi sebuah khayalan yang indah. Ada kalanya memang harus berusaha menghadirkan bahagia di saat-saat kecewa karena ditolak.”

“Kakak ini benar-benar berani ya? Berani mengungkapkannya cinta. Biasanya kan cowok duluan.” Sambal dihiasi tertawa kecil yang renyah.

Ponselku berbunyi lagi. Aku seperti sudah kehilangan rasa takut kalau ini adalah kabar yang tak diinginkan. Benar saja. “Aku ditolak lagi, maksudku naskahku” sambil kusodorkan ponselku pada barista ramah yang berdiri di depanku. “Pahit sekali bukan?”

“Kakak hanya perlu menikmatinya sepertinya Kakak menikmati kopi yang ada di genggaman sekarang. Segala sesuatu ada tantangannya, Kak. Hanya perlu memahami bagaimana cara menikmatinya, ya seperti minum kopi. Bisa dinikmati dengan rasa pahit, dengan segigit biskuit atau menambahkan gula. Perlu sedikit memahami tantangan, mengubah sudut pandang, dan keberanian.”

“Mungkin aku melahirkan setiap kata itu belum ada ruh dan rasa cinta yang sebenarnya. Hanya sebuah rasa ingin menarik perhatian editor yang aku sukai bahwa aku bisa menulis. Mungkin menulis hanyalah hobi dan aku belum mendapatinya sebagai passion. Sebagai kebutuhan yang ketika aku tak melakukannya, aku merasa seperti sangat hampa. Rahasia dongeng kopi yang indah.” Ucapku pada barista yang baik hati yang berbagi rahasia dongeng pada kopi. Rasanya kali ini terasa lebih ringan dan bahagia telah menemukan sebuah pemantik untuk mengubah secuil niat dan definisi tentang rasa.

“Semangat, Kak. Besok ketika Kakak menikmati kopi pesanan Kakak. Kakak tak lagi dapat penolakan. Naskahnya.” Tetap dengan senyum penuh semangat dan optimis.

Argo Dwipangga-Bintaro-Ngawi, 21 Agustus 2016

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

13879231_1215683565130072_788867301975035194_n

13 Comments
  1. Vinny says

    Bikin penasaran deh… kirain ditolak cintanya yak. Hihihi. Keren keren keren idenya mbak cindy…

    1. cindiriy says

      hehe..
      jebakan banget ya Mbak 😀

  2. Wiwid says

    Keren

    1. cindiriy says

      makasih Mbak 🙂

  3. free minecraft says

    Hey there! Would you mind if I share your blog with my facebook group?
    There’s a lot of people that I think would really appreciate your content.
    Please let me know. Thanks http://www.sd.pk.edu.pl/forum/profile.php?mode=viewprofile&u=170024

  4. Ichda says

    Cerita mengenai kopi selalu menarik, semenarik Wanginya seduhan kopi..

    Good job cin, aq berhasil terjebak dg “penolakan” yg berkali kali.. sempat berpikir ulang, ini tokohnya cewek apa cowok sih.. hihi

    1. cindiriy says

      Tokohnya sebenarnya cewek dalam imajinasiku 😀

  5. Ramita Rahma says

    Unexpectedly….ka…kirain kmu petualang cinta ternyata petualang kata. Amazing cind

    1. cindiriy says

      Makasih Mita udah berkunjung… :*

  6. ainz says

    aq terharu…..

    1. cindiriy says

      Aku juga terharu menyambutmu :*

  7. yulia rahmawati says

    tulisan yg mnarik, Mbak… sebagai penyuka kopi, saya lebh suka kopi item 🙂

    1. cindiriy says

      saya juga suka kopi hitam Mbak, tapi lebih suka cappuccino…hehe

Leave A Reply

Your email address will not be published.