Menziarahi Tiga Warisan Budaya di Solo Raya
Masih dalam rangka bloggerview bersama teman-teman blogger dan Best Western Premier Solo Baru di Solo Raya, hari kedua ini kami memiliki destination tourism di Solo Raya. Tim BWP Solo Baru mengajak kami, para blogger, menziarahi dua tempat menarik. Tujuan dari destination tourism ini adalah untuk mengenalkan warisan budaya di wilayah Solo Raya. Dua tempat yang kami kunjungi adalah Kampung Batik Kauman di showroom ‘Gunawan Setiawan’ dan Candi Cetho.
“Tak kenal maka tak sayang” jargon yang sudah sangat familiar terdengar di telinga kita bukan? Tak hanya untuk modal PDKT sama gebetan, jargon itu saya pikir juga cocok untuk mengenal warisan budaya kita, biar makin greget kenalannya. Biar jadi anak gaul yang paham tentang warisan budaya di negeri tercinta. 😀
Kampung Batik Kauman “Gunawan Setiawan”
Batik adalah salah satu dari banyak ragam warisan budaya yang ada di Indonesia. Jenisnya bermacam-macam dan berasal dari berbagai daerah yang memiliki corak khusus dalam setiap lembar kain batik. Bahkan di Solo tak hanya Kampung Batik Kauman, ada juga Kampung Batik Laweyan atau mungkin ada kampung batik lainnya yang saya belum tahu dan belum saya kunjungi. Di Kampung Batik Kauman pun juga terdapat banyak showroom batik, salah satunya adalah showroom batik “Gunawan Setiawan”.
Tak hanya sebuah outlet, “Gunawan Setiawan” merupakan showroom yang memperlihatkan setiap proses yang harus dilalui untuk melahirkan selembar kain batik yang bagus dan elegan. Ada tetes demi tetes peluh yang harus diseka oleh perajinnya. Di showroom tersebut ada dua proses pembuatan batik yang ditunjukkan pada kami, proses canting dengan malem yang hasil batiknya kita sebut dengan batik tulis dan ada batik cap. Setiap hari para perajin dengan telaten melahirkan batik-batik elegan yang selama ini kita lihat.
Perajin batik tulis, mencanting pola batik di atas selembar kain dengan malem yang dicairkan dan digoreskan di kain dalam keadaan panas. Tak jarang, malem panas ini juga singgah di jari manis para perajin. Bayangkan panasnya! Itulah alasannya kenapa batik tulis itu mahal, tak sekadar mahal hasilnya tetapi juga betapa mahal juga prosesnya karena tak semua orang bisa menguasai teknik mencanting dengan baik. Batik cap berbeda dengan batik tulis. Batik cap sudah tersedia cetakan polanya. Cetakan dimasukkan ke dalam malem yang dipanaskan lalu diangkat dan dicapkan di atas selembar kain putih yang sudah disiapkan. Seperti orang menyetrika baju tetapi hanya dengan satu sentuhan.
Setelah proses tulis maupun cap selesai, maka akan menuju tahap selanjutnya yaitu pewarnaan. Proses pewarnaan ini masih sangat alami dengan pemanfaatkan bahan-bahan alami dari alam. Seperti tingi untuk menghasilkan warna merah, kliki duwet untuk mengahsilkan warna ungu dan masih banyak lagi yang lainnya. Proses pewarnaan juga ada beberapa tahap hingga nanti akhirnya selembar kain batik dijemur agar kering.
Selembar kain batik yang sudah jadi, di showroom “Gunawan Setiawan” diproses lagi agar menjadi sebuah baju yang siap pakai. Mulai dari kemeja lengan panjang dan pendek untuk pria, kemeja untuk wanita, rok, celana aladin, baju anak-anak, gamis hingga daster. Selain itu juga dijual dalam bentuk kain batik lembaran berbagai motif. Di showroom batik “Gunawan Setiawan” kita juga bisa menjumpai batik dalam bentuk macam-macam aksesoris lucu mulai dari bros, kalung, dan gelang. Ada juga berbagai macam tas batik, clutch, sandal, pensil, sepatu, binder batik, blankon dan kawan-kawannya. Saya pun juga akhirnya tahu bahwa ada sabun khusus batik yang seharusnya digunakan saat kita mencuci baju batik agar warnanya tidak cepat memudar.
Candi Cetho
Jujur saja, destination tourism dari Premier Solo Baru ini benar-benar sebuah kejutan karena memang tidak diberitahukan sebelumnya. Bagi saya pribadi, ini sangat membahagiakan karena sebelumnya rencana saya untuk bisa berkunjung ke Candi Cetho selalu saja tertunda. Jika sudah tertunda, saya hanya bisa berbisik menenangkan hati ‘gak apa-apa, masuk wish-list di buku mimpi dulu deh!’. Minggu kemarin akhirnya terwujud melalui rejeki dari Premier Solo Baru. Melalui passion juga. Betapa bahagianya saya saat itu. 😀
Candi Cetho terletak di kaki Gunung Lawu, Karanganyar, Solo Raya tepat di sebelahnya adalah salah satu jalur pendakian menuju Gunung Lawu. Berada di kaki gunung sudah tentu udaranya sangat sejuk dan berada di ketinggian yang menawarkan pemandangan yang sangat indah. Candi Cetho ini adalah candi Hindu yang masih aktif dalam artian masih digunakan untuk ibadah. Candi akan ditutup jika ada perayaan hari besar agama Hindu. Oleh karena itu, saat akan memasuki komplek candi para pengunjung diwajibkan menggunakan kain kampuh yang sudah disiapkan oleh petugas setempat.
Wisata Candi Cetho dibuka dari pagi hingga pukul 17.00. Sebelum memasuki kawasan candi, kita harus membeli tiket terlebih dahulu dengan tarif Rp 7.000 bagi wisatawan lokal dan Rp 25.000 bagi wisatawan mancanegara. Saya pikir sangat terjangkau jika harus mengeluarkan kocek dari kantong sendiri. Kalau saya sih, dapat traktiran dari BWP Solo Baru.
Ohya, sebelum menjangkau gerbang candi yang kental seperti nuansa bali, kita harus sedikit berjuang menaiki anak tangga yang kurang lebih berjumlah 32 anak tangga. Di tangga tertinggi pandangan kita akan dimanjakan dengan hamparan yang indah, menenangkan tanpa batas. Semilir anginnya semakin terasa.
Memasuki kawasan candi di mana ada simbol lingga dan yoni, saya jadi teringat sebuah tempat warisan budaya yang terkenal dari Peru, yaitu Machu Pichu. Indah. Selain menikmati keindahan alam, kita juga bisa belajar tentang sejarah yang menjadi warisan budaya yang memperkaya khazanah bangsa yang seharusnya kita jaga.
Rumah Teh Ndoro Donker
Bagi para aktifis intagram, Rumah Teh Ndoro Donker saya pikir bukanlah hal yang asing lagi. Rumah teh ini sangat ngehits dan sangat intagramable lho. Sebuah restoran atau semacam kafe di tengah perkebunan teh Kemuning yang menyajikan teh hangat dari bermacam jenis teh. Dilihat dari sejarahnya, Rumah Teh Ndoro Donker bisa dikatakan sebagai warisan budaya. Betapa tidak, perkebunan teh Kemuning telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Tanaman teh yang ditanam oleh penduduk lokal di bawah tekanan Belanda pada saat itu. Meski dari masa ke masa mengalami pasang surut dalam hal pengelolaan, akhirnya Rumah Teh Ndoro Donker menyewa dan membeli beberapa lahan perkebunan teh untuk dijaga dan dipertahankan pelestariannya.
Berdirinya rumah teh tersebut diharapkan bisa menjaga dan menghalangi segala macam bentuk pembangunan di kawasan perkebunan teh Kemuning, sekaligus ingin menjadi tempat untuk memperkenalkan segala macam variasi teh yang dihasilkan oleh perkebunan teh di Indonesia, tidak hanya perkebunan teh Kemuning saja. Dari rumah teh inilah, pemilik ingin mengampanyekan agar kita senantiasa mencintai dan menggunakan produk dalam negeri yang juga berkualitas baik.
Baca juga: Semangat Nasionalisme dari Rumah Teh Ndoro Donker
Nah, itulah tiga tempat bersejarah yang saya ziarahi bersama teman-teman blogger bersama BWP Solo Baru di Solo Raya. Semoga ada rejeki, kesempatan, kemudahan, dan kesehatan untuk menjelajahi tempat-tempat warisan budaya di Solo Raya yang lainnya khususny dan seluruh Indonesia.
Nice review. Brava!
idfipancani.blogspot.co.id
Terimakasih Mas Idfi 🙂
Aku sempat tinggal di Solo berbulan2 tapi ga main ke Candi Cetho. Duh nyesel banget. Salam kenal dariku. Mampir ya ke blogku 😊
http://www.womanofcourage.net
salam kenal kembali Mbak, makasih udah mampir… 🙂
besok kalau ke Solo main e candi cetho, Mbak, pemandangannya asik..