Roller Coaster Kehidupan StudentMom
Keluarlah dari zona nyaman. Sembilu yang dulu. Biarlah membiru. Berkarya bersama hati. Bergeraklah dari zona nyaman. ~Fourtwnty~
Saat pagi di tanggal merah kemarin, saya dan suami menjemur pakaian bersama dengan sebelumnya suami memutar lagu dari iTunes-nya. Sayup-sayup saya dengar kalimat di lirik lagu “keluarlah dari zona nyaman” yang dinyanyikan Fourtwnty. Bagi saya saat ini bukanlah masa yang bisa dianggap santai dengan ritme kehidupan yang dianggap wajar oleh orang pada umumnya. Sebagai istri sekaligus ibu tentu saja konstruksi pemikiran di masyarakat (dan teori pengasuhan) idealnya adalah fokus pada anak, suami dan urusan rumah tangga, sedangkan saya berada dalam fase di mana harus membagi fokus pada suami dan anak dengan segala macam tugas dan jurnal. Iya, saya berada di zona yang tidak nyaman, setidaknya begitu anggapan orang.
Dulu sekali, saya memiliki angan-angan ingin terus melanjutkan sekolah meskipun sudah menikah dan memiliki anak. “Pasti akan menyenangkan”, begitu pikir saya waktu itu. Ketika suatu ketika saya mengungkapkan khayalan saya itu, hampir sebagian besar akan menjawab bahwa itu tidak mungkin atau sekadar ditanggapi ‘untuk apa sekolah lagi?’. Kemudian banyak yang menyarankan untuk sekolah dulu baru menikah dan punya anak.
Kemudian, takdir membawa saya berdiri di pelaminan terlebih dahulu dan suasana kehidupan pernikahan membuat saya (sedikit) terlena pada cita-cita. Memasuki tahun ke empat pernikahan sekaligus menanti buah hati yang ternyata belum mengisi rahim, akhirnya saya kembali memutuskan untuk belajar, melanjutkan sekolah lagi dengan harapan perjalanan belajar kali ini bisa menjadi jalan spiritual lebih dekat dengan-Nya dan dianugerahi buah hati. Akhirnya, proposal saya pada Tuhan yang sedikit memaksa itu dikabulkan. Mulailah saya memainkan peran ganda di fase baru kehidupan.
Januari 2017 adalah awal saya memiliki status baru sebagai mahasiswi di Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia. Satu bulan berselang, saya menyadari ada yang sedikit berbeda dari diri saya, sekitar bulan Maret saya memutuskan ke dokter kandungan. Ternyata saya sudah hamil dengan usia kandungan delapan minggu. Alhamdulillah, semua berjalan lancar dan bagi orang-orang di sekitar saya, itu terlihat mudah bagi saya…haha.
Hamil muda dan kuliah lagi ditambah dengan perjalanan Bintaro-Salemba menggunakan commuter line sungguh menjadi hal luar biasa. Kehidupan yang drastis saya jalani, sebelumnya ritme kehidupan yang berjalan santai berubah menjadi ritme yang begitu cepat. Waktu terasa amat sangat berharga dan akhirnya benar kata kawan bahwa kehidupan Jakarta itu keras. Tantangan pada waktu itu adalah saya menyadari sering kontraksi saat di trimester pertama dan kedua. “Pegangan yang kuat ya Kak”, “Maaf ya Kak, ibuk belum bisa ngajak Kakak santai-santai, tiduran, atau tidur yang cukup”, “Kita sekolah ya Kak, semoga Allah menitipkan ilmu yang berkah untuk kita.” Hanya kalimat-kalimat itu yang terus menerus saya sounding pada bayi yang masih di rahim. Betapa bahagianya saya ketika saya mendapati tidak pernah absen di semester pertama dalam kondisi hamil muda.
Memasuki semester kedua perkuliahan dan saya sudah berada di akhir trimester ketiga bahkan H-2 sebelum melahirkan saya masih hadir di kelas. Selama masa kehamilan dengan ritme menjadi mahasiswa ternyata tidak semudah dalam angan meskipun tetap membahagiakan hingga datang waktu melahirkan yang saya jalani melalui operasi sesar. Saya tidak mengambil cuti perkuliahan, hanya memanfaatkan ijin tidak masuk kepada dosen dan administrasi di bagian akademik. Hari ketujuh pasca melahirkan sesar, ujian tengah semester dua datang menyapa dan saya tempuh jarak Bintaro-Salemba dengan commuter line demi ujian. Bisa? Alhamdulillah bisa dengan sangat menyakitkan…hahaha.
Hingga di sini, saya bersyukur bisa sekolah lagi dengan sebuah peran ganda menjadi mama dan mahasiswi. Allah Maha Tahu, jika saya sekolah terlebih dahulu di jenjang magister sebelum menikah dan punya anak, bisa jadi ritme kehidupan saya sama seperti ritme kehidupan di Jogja yang serba santai dan damai. Namun, kali ini saya bersyukur dan beruntung bisa mencicipi dua peran dengan perasaan macam naik roller coaster.
Ya, roller coaster kehidupan sebagai studentmom atau mamasiswa ternyata tidak semudah dalam khayalan. Tidak mudah menata waktu dan ego, bernego dan menjalin komunikasi, berdamai dengan diri, mengatur naik turun emosi, hingga menyeleksi komentar orang atas pilihan kita. “Ngapain sekolah lagi?”, “Fokus aja di rumah dan anak-anak, ngapain repot sekolah lagi, kapan senang-senangnya?”, “Udah nikah dan punya anak udah bukan waktunya sekolah lagi. Sekolah itu dulu sebelum menikah”, “Masa golden age anak itu sekali seumur hidupnya, kalau sekolah kamu ketinggalan dong ya?”, “Iya sih bisa sekolah lagi tapi kasihan banget sih anakmu.” Daaaan masih banyak yang lainnya. 😀
Bagaimana rasanya menghadapi komentar orang yang mengungkapkan fakta? Saya semacam menjadi perempuan yang nestapa dan dibanjiri rasa bersalah terutama pada anak dan suami. 😀 Di sisi lain, saya bahagia bahwa ternyata saya memiliki support system yang solid, good vibes dan positive people yang ternyata jauh lebih banyak. Salah satunya, saya menjadi bagian kecil bahkan seperti butiran deterjen dari sebuah komunitas bloger yaitu, BloggerCrony dengan prinsipnya adalah positive people dengan positive attitude yang memberi saya kesempatan hadir di launching buku Neng Koala yang berisi kisah-kisah mahasiswi Indonesia di Australia sekaligus diskusi bertemakan perempuan dan pendidikan tinggi di Aula Univeritas Binus tepat seminggu lalu (25/4). Dalam diskusi tersebut ada lima narasumber sekaligus penulis buku Neng Koala yang berbagi pengalamannya selama belajar di Australia dengan kondisi yang berbeda. Sharing pengalaman yang paling berkesan adalah ternyata saya tidak sendiri menjalani peran ganda sebagai mama dan mahasiswi yang pada waktu itu disampaikan oleh Mbak Adhityani “Dhitri” Putri, Alumnus Australian National University. Saya menyadari ternyata apa yang saya jalani masih tergolong ringan karena saya masih menjalaninya di Indonesia. *hoho*
Dalam tulisannya di buku Neng Koala, Mbak Dhitri menceritakan ada dua tantangan besar ketika melanjutkan kuliah di Australia sekaligus memiliki bayi dalam waktu yang bersamaan yaitu, mendapatkan tempat penitipan anak yang bagus dengan harga terjangkau dan membagi waktu dan perhatian antara kebutuhan si kecil, kebutuhan rumah, kebutuhan pribadi dan suami. Yap, saya bisa saja memberi jawaban yang mudah dengan “planning” atau “direncanakan dong!” Eitttsss, tahan dulu memberi jawaban yang super mudah itu karena bagi yang sudah punya anak pasti tahu bahwa rencana sematang apa pun itu bisa kandas seketika. Anak bayi dan balita mana bisa disuruh mengikuti jadwal deadine tugas ibunya? Daaaaaan, saya sudah mengalami itu…wkwkwk rela ngerjain tugas dengan menggadai waktu tidur malam demi tugas kelar, masalah besok berangkat ke kampus sambil melek merem urusan besok, syukur-syukur kalau dapat tempat duduk di commuter line untuk sekedar merem sebentar. It is heaven in the earth, Moms! 😀
Selain tulisan Mbak Dhitri di buku Neng Koala, saya juga memiliki kesan khusus kepada Mbak Cucu Saidah yang memiliki semangat dan daya juang yang tinggi. Bagaimana tidak, di tengah keterbatasannya di mana segala aktivitasnya dilakukan di atas kursi roda, ternyata tidak menghalanginya untuk melanjutkan sekolah di jenjang master bersama suaminya yang sama-sama memiliki keterbatasan. Dari Mbak Cucu lagi-lagi saya diingatkan lagi bahwa bagaimanapun kondisi kita bukan menjadi penghalang untuk banyak kebaikan termasuk menjemput ilmu. Hal yang membedakan adalah adanya niat dan tekad yang kuat dan berani merealisasikannya.
Saat saya membaca lembar demi lembar kisah Neng Koala, saya juga menemukan tulisan berjudul “Merajut Mimpi Bersama: Kuliah Bareng Suami” yang ditulis oleh Mbak Melati, founder Neng Koala. Tulisan itu lagi-lagi menyemangati saya dari sisi yang lain tentang keinginan saya dan suami untuk kuliah bareng, bareng secara waktu dan universitasnya bersama anak kami tentu saja. Mimpi besar yang tinggi itu tentu saja tidak bisa diwujudkan dengan mudah. Namun, Mbak Melati berpesan dalam tulisannya bahwa niat kuat bahkan nekat dan optimisme adalah kunci terwujudnya mimpi serta selalu bersyukur atas pilihan yang telah diambil bersama. Yaa, saya pun sepakat.
Banyak kisah berharga untuk mengisi semangat dari buku Neng Koala dan ini berharga sekali untuk saya yang sedang menjalani peran ganda sebagai mamasiswa. Kisah-kisah Neng Koala sangat beragam, bisa dibaca oleh semua kalangan, tidak harus jadi mamasiswa dulu baru membaca Neng Koala kok! Bagi perempuan Indonesia yang enerjik, penuh semangat dan cita-cita tinggi pada pendidikan, buku Neng Koala ini bisa jadi daftar bacaan dan teman slonjoran…hehe. Saya tidak memungkiri bahwa setelah menjadi ibu kewajiban bertambah seolah waktu selalu kurang dan tidak memungkinkan untuk sekolah lagi. Bukan tidak mungkin, mungkin kok asal berani mengambil keputusan dan tanggung jawab menyelesaikan apa yang sudah menjadi keputusan, semua itu tidak ada yang tidak mungkin tergantung kita berani atau tidak mengambil kesempatan untuk keluar dari zona nyaman. Ohya, selain para perempuan, buku Neng Koala juga bisa dibaca oleh para laki-laki agar bisa memiliki gambaran tentang dunia perempuan dan pendidikan tinggi.
Selesai membaca Neng Koala secara paripurna, saya memilih untuk tetap bersyukur dan bahagia menikmati roller coaster kehidupan sebagai mamasiswa.
Salam dari mamasiswa terenerjik di dunia Bilgi! 😀
Saya punya 2 buku neng koala. Suka sama covernya yang cewek banget. Kisah-kisahnya juga bikin deg-degan bagaimana perjuangan mereka mengejar beasiswa ke Australia.
Banyak suka dan duka namun itu yang jadi pengalaman berharga. Sakit nya buat pejuang beasiswa ini 🙂
Masya Allah, luar biasa! Barakallah, Mbak. 🙂