Trilogi Insiden: Fakta dari Sebuah Fiksi
“Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Karena bila jurnalisme bicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran. Fakta-fakta bisa diembargo, dimanipulasi, atau ditutup dengan tinta hitam, tapi kebenaran muncul dengan sendirinya, seperti kenyataan. Jurnalisme terikat oleh seribu satu kendala, dari bisnis sampai politik, untuk menghadirkan dirinya, tapi kendala sastra hanyalah kejujurannya sendiri.”
Buku Trilogi Insiden sebenarnya merupakan tiga buah buku yang diterbitkan berbeda dan pada tahun yang berbeda pula, lantas digabungkan menjadi satu oleh Penerbit Bentang Pustaka pada tahun 2010. Ketiga buku yang digabung dalam Trilogi Insiden ini adalah Saksi Mata, Jazz, Parfum & Insiden, dan Ketika Jurnalisme dibungkan Sastra Harus Bicara.
Buku pertama, Saksi Mata adalah buku yang berisi kumpulan cerpen, terbit pada tahun 1994. Buku kedua yang berjudul Jazz, Parfum & Insiden merupakan sebuah novel –Seno Gumira Ajidarma (SGA) selaku pengarang menyebutnya dengan Roman Metropolitan– terbit pertama kali pada tahun 1996. Sedang buku ketiga, Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara merupakan buku yang berisi kumpulan esai, terbit pertama pada tahun 1997.
Pembungkaman Fakta?
Kesamaan latar belakang merupakan kata yang menurut saya pas untuk menggambarkan kenapa ketiga buku ini digabungkan, walaupun SGA sendiri dalam buku ini menentang korelasi antara karya sastra dengan latar belakang penulisannya.
“Saya termasuk orang yang setuju, kalau karya sastra memang tidak harus dihubung-hubungkan dengan latar belakang pembuatannya. Pengalaman seorang penulis mungkin menarik sebagai gosip, tapi ia tidak perlu menjadi faktor yang ikut menentukan kualitas sebuah tulisan.”
(Trilogi Insiden:317).
Semua berawal ketika majalah Jakarta Jakarta (JJ) –majalah dimana SGA adalah pimpinan dari majalah tersebut dan turut membesarkannya sejak masih berbentuk embrio– nomor 282 yang tanggal terbitnya tercatat 23-29 November 1991. Pada edisi tersebut JJ memuat sebuah laporan bertajuk Dili: Heboh Video. Laporan dalam majalah JJ ini merupakan buntut dari sebuah insiden yang kelak dikenal sebagai Insiden Dili 12 November 1991. Berdasarkan keterangan para saksi mata yang dikumpulkan oleh majalah JJ, juga berdasarkan rekaman video yang sudah menyebar sampai luar negeri, insiden tersebut terlihat sadis dan tidak berperikemanusiaan. Dilakukan oleh kelompok militer tanpa tanda-tanda dan identitas jelas terhadap warga sipil Dili, Timor-Timur (Timor Leste sekarang), yang menurut buku ini tengah melakukan demonstrasi dan upacara tabur bunga di komplek pemakaman Santa Cruz.
Rupanya, isi berita yang jujur seperti dalam pemberitaan majalah JJ disesalkan oleh pihak manajemen penerbitan tempat majalah JJ bernaung terlebih oleh pihak militer karena dianggap telah mendiskreditkan lembaga mereka. Mereka menyebutnya terlalu vulgar, tapi SGA sendiri melakukan pembelaan atas pernyataan yang dianggap vulgar tersebut.
“Menulis berita bukanlah soal estetika, bukan keindahan bahasa, melainkan soal fakta: apa yang sebenarnya terjadi?”
(Trilogi Insiden:362)
Setelah pemberitaan mengenai inseiden Dili di majalah Jakarta Jakarta tersebut, SGA bersama dengan Waskito Trisnoadi selaku Redaktur Pelaksana dan Usep Hermawan selaku Redaktur Dalam Negeri dipanggil oleh pimpinan perusahaan tempat majalah JJ bernaung. Apalagi kalau bukan ‘mempertanyakan’ isi majalah yang baru saja terbit. Di akhir cerita, Waskito dan Usep dipindahkan ke tabloid Citra dengan status demosi, artinya dimutasikan karena kesalahan, sedang SGA tetap berada di JJ, namun non job selama beberapa bulan. Inilah awal mula dari pengkerdilan Jakarta Jakarta yang membuat SGA ‘bersuara’ di ruang lain, tidak lagi di ruang jurnalistik. “Cacing diinjak pun menggeliat, apalagi manusia,” kata SGA. Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara, persis seperti kalimat yang tertulis di awal tulisan ini. Ketiga tulisan SGA tersebut terbit ketika Orde Baru masih berkuasa, dan lolos. Padahal isi yang terdapat dalam ketiga buku tersebut sangat jelas menggambarkan insiden Dili –walaupun tanpa menyebut nama dan lokasi kejadian–, cuma bedanya ia hadir dalam ruang fiksi. Siapa sekarang yang akan menyalahkan fiksi?
Trilogi Insiden
Seperti yang tertulis di atas, isi buku ini terdiri dari Saksi Mata (kumpulan cerpen), Jazz, Parfum & Insiden (novel), dan Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (kumpulan esai).
Saksi Mata. Dalam bagian ini, 17 cerpen yang –tentu saja– bernuansa insiden Dili terangkum. Mereka adalah Saksi Mata, Telinga, Manuel, Maria, Salvador, Rosario, Listrik, Pelajaran Sejarah, Misteri Kota Ningi, Klandestin, Darah itu Merah Jenderal, Seruling Kesunyian, Salazar, Junior, Kepala di Pagar Da Silva, dan Sebatang Pohon di Luar Desa. Dari judul-judul kumpulan cerpen itu saja, jelas bahwa cerpen-cerpen ini merupakan representasi dari Insiden Dili 12 November 1991. Terasa ada seberkas fakta yang berusaha bercerita.
Jazz, Parfum & Insiden. SGA mampu meramu laporan-laporan Insiden Dili menjadi sebuah roman yang dibalut sensasi cerita parfum dan filosofi alunan musik jazz. Inti dari novel ini sebenarnya adalah pada bagian insiden yang dikisahkan, berisi laporan-laporan seorang wartawan mengenai sebuah insiden yang terjadi –tentu kita mafhum insiden seperti apa yang dimaksud. Bagian jazz dan parfum hanyalah sebuah pengaburan dari bagian insiden sehingga seolah-olah terpisah dan ketiganya terhubung dengan sosok tokoh bernama aku.
Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara. Bagian ini berisi kumpulan esai. Beberapa menjelaskan tentang proses kreatif dalam menuliskan cerpen yang sebagian besar terangkum dalam Saksi Mata. Bagian lain memuat kisah di belakang layar mengenai proses terbit majalah Jakarta Jakarta edisi 282 sekaligus cerita yang terjadi setelah JJ edisi tersebut terbit, mulai dari tekanan manajemen hingga interogasi dari pihak militer. Sisi lain menggambarkan korelasi antara fiksi, jurnalisme, dan sejarah. Pentingnya menyampaikan kebenaran atas fakta, diceritakan pula dalam bagian ini.
Epilog
Saya setuju dengan pendapat SGA ketika dia mengatakan bahwa jurnalisme adalah pengungkapan fakta. Fakta yang bagian mana? Nah, ini dia! Pengungkapan fakta yang mana adalah kewenangan mutlak dari tim redaksi, terutama dari peliput fakta itu sendiri. Sebuah aksi demonstrasi mahasiswa yang menyebabkan jalanan macet, itu memang fakta, tapi apakah fakta seperti itu cukup layak untuk diungkapkan menjadi berita utama bila dibandingkan misalnya dengan, apa isi demo yang disuarakan mahasiswa? atau apa yang melatarbelakangi demo tersebut menjadi perlu dilakukan oleh mahasiswa? Fakta yang mana yang akan dipilih oleh peliput fakta, itu menjadi hak dia sepenuhnya, tentu nantinya harus sesuai juga dengan kebijakan pemimpin redaksi.
Begitu juga dengan apa yang diungkapkan oleh SGA sebagai sebuah fakta. Bisa jadi Trilogi Insiden hanya selembar fakta yang dia ungkapkan dan bukan kebenaran dari keseluruhan fakta yang seharusnya ada. Ia mengakui sendiri pada buku Trilogi Insiden ini.
“… Saya mungkin tidak sedang membela kemanusiaan, saya hanya bertengkar dengan para pegawai tinggi di perusahaan tempat saya bekerja: bahwa teks yang mereka haramkan saya sebar luaskan. Jangan-jangan ini cuma soal gengsi antarpribadi. Hanya itu….”
(Trilogi Insiden:398)
Kebenaran mungkin akan lebih mendekati ketika pembaca buku ini juga disodori setumpuk penjelasan dari pihak militer yang diduga melakukan penembakan di pekuburan Santa Cruz. Itu pun, saya kira, termasuk fakta yang perlu diketahui. Apa alasan mereka menembak? Atau, Bagaimana situasi yang pihak militer rasakan? Perlu rasanya untuk mendapat penjelasan. Tetapi, rasanya, saya sangat setuju dengan apa yang tertulis dalam cover belakang buku Trilogi Insiden ini, “Seberapa jauh pembantaian orang-orang tidak bersenjata boleh didiamkan, demi kepentingan apa pun dari sebuah lembaga mana pun? Saya ingin mendengar sebuah jawaban.”
Nah, ini adalah buku yang saya baca minggu lalu. Teman-teman baca buku apa minggu ini? ^^
Minggu ini baru baca status medsos, hedeh jadi malu nih. Kapan ya semangat baca kaya mba
Wah asyik banget nih bukunya. Benar-benar 3 in 1 ya.
Gak sabar pingin beli buku ini…
Saya paling suka baca tulisan SGA…
Makasih ya kak referensinya
Bukunya komprehensif ya kak, tiga karya dari penulis menjadi sumber inspirasi menulis karya sejati
Cerdas. Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara. Kita mengakui benar adanya, sebuah solusi yang brilian tetapi melakukannya merupakan sebuah perjuangan, tak banyak yang berani. Luar biasa SGA, masya Allah .. perjuangannya diungkapkan dalam bentuk sastra ketika aktivitas jurnalismenya dibungkam.
Aku baru kelar baca ‘Neraka Pemikat’ kumcernya Zainul Muttaqin, cerpenis muda asal Madura..
Berat ini Trilogi Insiden-nya SGA. Tapi kalau 3 buku jadi satu begini mau juga, jadi hemat waktu dan terpacu kelarin baca daripada 3 buku berbeda.
Suka dengan cara mereview bukunya, Kak. Inspiring!
wow Seno Gumira Ajidarma
baru tau saya dia punya buku trilogi (tutup muka, malu),
kayanya saya harus mulai hunting dan baca bukunya satu persatu
Bacanya merinding tapi penasaran banget TT.. Saya dulu sempat lihat cuplikan-cuplikan video insiden ini, dan memang ngeri banget..
Minggu ini baca bukunya anak-anak mbak, bekal buat nemani mereka belajar.
Menarik nih buku trilogi insiden ini, menggabungkan 3 karya dari waktu berbeda dalam satu buku.
Saya suka kalo baca buku berbobot begini. Terakhir baca buku Laut Bercerita tentang kisah di balik hilangnya mahasiswa aktivis reformasi. Meski berbentuk novel fiksi, tapi berdasarkan kisah nyata, jadi banyak fakta mengejutkan yang bikin kita tersadar akan banyak hal.
Sudah lama saya gak baca buku, Mba. Duh jadi malu nih.
Trilogi dalam 1 buku ini bagus juga, waktu membacanya tentu jadi lebih singkat dibanding membaca 3 buku berbeda
Kalau baca cerita memang menyenangkan apalagi yang trilogi, selalu penasaran dengan kelanjutannya
Waaah Trilogi dalam satu buku? Selain unik jadi bisa hemat belinya nih. Baca ulasan kakak saya jadi pengen langsung otewe baca sendiri.Nambah penasaran soalnya