Ruang Tumbuh & Bersenang-Senang

Commuter Marriage, Siapa Takut?

2

Beberapa kali bahkan mendekati level sering, saya mendapat pertanyaan ‘Bagaimana menjalani LDR agar bisa tetap heppi?’, ‘Bagi tips menjalani LDR dong, Cind’, atau ‘Gimana biar LDR-ku semanis LDR-mu?’ dan masih banyak pertanyaan lain yang berujung pada pertanyaan yang intinya sama, Commuter Marriage atau lebih sering dikenal sebagai Long Distance Relationship atau Long Distance Marriage bagi sebagian besar pasangan yang telah menikah adalah hal tidak mudah dijalani termasuk bagi saya sendiri. Terlebih lagi, saya heran ketika (ternyata) banyak dari teman-teman yang melihat saya tetap happy dengan commuter marriage yang saya jalani sekarang. Alhamdulillah.

Commuter marriage itu mudah diucapkan tapi susah dijalani (haha…iklan). Ya, memang tidak mudah. Bayangkan saja, baru saja menikah yang seharusnya hidup berdampingan, bahu membahu mengerjakan tugas rumah tangga, pacaran tiap malam minggu, makan bersama, pergi belanja berdua dan sederet rutinitas biasa berubah menjadi manis dan spesial (pakai telor), tiba-tiba menjalani rutinitas seperti biasa saat masih menjadi single fighter bahkan (mungkin) ada yang dibarengi dengan berandai-andai jika sang kekasih berada di sisinya. Karena tidak mudah menjalaninya, biasanya akan terlampiaskan di FB atau jejaring sosial lainnya. Ya, itu bentuk ekspresi.

Saya yakin, semua pasangan di dunia ini akan memilih hidup berdampingan tanpa berjauhan. Hidup bersama selayaknya suami istri, membangun rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah dalam satu atap. Memelihara cinta kasih tanpa sejengkal jarak. Menanti buah hati dan menjalani tahap demi tahap kehidupan berumahtangga.

Lalu, bagaimana dengan saya? Saya pun demikian, benar-benar menginginkan kehidupan yang ‘normal’, ingin mencecap manis pernikahan tanpa sejengkal jarak. ‘Jarak’ ini bukan tanpa alasan. ‘Jarak’ ini adalah pilihan dan saya salut pada kebesaran hati serta dukungan yang tak terbilang life-partner saya, kedua (pasang) orangtua saya sekaligus rasa syukur tak terhingga kepada Sang Maha. Alhamdulillah.

Hidup itu pilihan dan semua resiko dari sebuah keputusan harus tetap dihadapi bukan diratapi. Susah atau senang dalam menjalani commuter marriage itu berbeda-beda bagi setiap orang dan cara mengekspresikannya. Ada yang mengekspresikannya dengan update status ‘Kangen Abang yang di sana. Baru dua hari pisah serasa udah dua tahun lamanya’ dst. Ada yang lebih memilih memendamnya, menyendiri, atau mencatatnya dalam diary. Itu pilihan.

Saya menyikapi commuter marriage sebagai resiko dari sebuah pilihan. Saya yang diawal-awal juga sedih, tumbuh rasa iri kenapa memilih ‘jalan’ ini, dan rasa putus asa apakah bisa. Waktu mengantarkan saya belajar dan waktu membuat saya mengubah cara pandang dengan melihat commuter marriage dari sisi yang lain.

Pernikahan adalah dermaga tempat kita berhenti sejenak menjemput kawan seperjalanan. Kawan untuk saling mendukung dan menyemangati. Meski harus menyemai cinta kasih dalam jarak. Bahwa tak ada yang sia-sia dalam sebuah pilihan dan keputusan. Bahagia dan tidak bahagia tergantung pada seberapa besar rasa syukur yang hadir dan usaha nyata mensyukurinya. Bersyukur atas jarak yang membentang. Bersyukur atas waktu dan kesempatan yang menumbuhkan harapan-harapan. Saya bersyukur atas ‘bonus’ karena bisa memperpanjang kontrak tinggal di Jogja. Saya bersyukur atas kesempatan dan waktu-waktu dimana saya masih bisa belajar. Saya bersyukur atas kesempatan dan waktu untuk terus bertatap dengan sahabat-sahabat saya. Saya bersyukur atas waktu dan kesempatan untuk saya terus fokus menjemput takdir di kota ini. Saya bersyukur atas apa yang saya jalani. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Maka bersyukurlah dan engkau akan bahagia.

Commuter marriage ini tak menyisakan ruang kosong yang tak terisi dengan rindu. Setiap detiknya rindu itu tumbuh dan saya hanya bisa menjaganya, menitipkan pada dekapan Tuhan karena Dia adalah sebaik-baik penjaga dan pemberi. Jika rindu sudah overload dan butuh tempat untuk mengekspresikannya saya lebih memilih untuk sendiri, mendekap cinta saya dengan doa-doa. Memeluknya dalam sujud panjang bukan status di jejaring sosial. Sebanyak apapun saya ‘nyampah’ berkata ‘aku merindukanmu’ itu tidak akan memampatkan jarak yang jauh menjadi dekat. Sebanyak apapun kata rindu terucap tidak akan menjadi pintu doraemon yang mengantarkan saya datang di hadapan cinta saya di seberang sana. Rindu-rindu itu teruntai dalam doa yang berulang-ulang. Jika harus menangis masih ada lantai yang akan dengan lapang menerima bulir-bulir hangat. Mendekap cinta dengan doa. Pada saatnya nanti, akan ada buah yang teramat manis, sebuah hikmah yang luar biasa manis. Saya hanya perlu percaya dengan sebaik-baik keyakinan. Berharap, mungkin jarak ini adalah ‘warming up’ untuk jarak-jarak yang tak disangka di depan sana. Semoga Alloh menjaga kami. Menjaga diri dan hati kami. Semoga selalu ada bahagia dan sakinah dalam jarak. Semoga saya dan life-partner diberi kesabaran hingga nanti kami disatukan tanpa jarak. Semoga ini adalah kesempatan dalam rangka mempersiapkan kedatangan kakak kecil dan adik-adiknya ^^
Tetap optimis dan selalu berprasangka baik kepada Sang Maha, Ia tak akan menetapkan kesia-siaan pada hamba-Nya termasuk dalam menjalani commuter marriage.

Yap, itu sikap saya. Bagaimana sikapmu yang sedang menjalani commuter marriage seperti saya?

2 Comments
  1. Lia Wibyaninggar says

    Mbak Nika, nice sharing. 🙂 Aku kepoin blog Mbak Nika, maaf yaa. Haha. Meski ini postingan udah lama, aku baru baca. Tak apa. Mungkin aku memang butuh menyiapkan mental untuk keadaan sejenis, kelak. Sebab, sejak awal aku bersikukuh tidak ingin mengalami commuter marriage jika sudah menggenap nanti karena ada bayang-bayang masa lalu tentang kehidupan ortu yang sejak awal menikah hingga kini masih tinggal berjauhan. Ada sisi buruk yang menjadi efeknya jika kaitannya sudah sama anak-anak, anak-anak menjadi kurang dekat dengan ayahnya yg notabene tak bisa keep in touch setiap hari. Ah, tapi tergantung orangnya juga sih. Ketika menemui kenyataan bahwa kandidat life-partner saya kerjanya nun jauh di sana dan saya memutuskan ingin tetap tinggal di Jawa, akan ada konsekuensi ‘pahit’ yg harus diterima after marriage: harus terpisah jarak dulu. Ketakutan itu seketika menghantui, bagaimana jika seperti rumah tangga ortu saya? Saya akan jadi single fighter seperti ibu saya. Ah, tidak. Namun, kembali lagi, bagaimana kita mampu menyikapinya dan memelihara komunikasi baik dengan life-partner agar tetap samara.
    Aku selalu ingat salah satu Arabic saying (atau hadis ya?) yang bilang begini: “jarang-jarang bertemu, semakin bertambahlah rasa sayang atau cinta.”
    Semoga Allah selalu kuatkan ikatan antara Mbak Nika dan suami meski jarak menjadi jeda. 😀

  2. riyanika says

    aamiin…
    makasih Lia, nanti aku kepo2 lagi ke blog dan ninggalin jejak deh..hehe
    pernah baca juga “jarak itu untuk merefresh cinta” 😀
    Untuk orangtua Lia semoga selalu dilimpahi keberkahan ya dan benar-benar udah menjalani dalam waktu yang gak singkat, semoga bisa segera berdekatan yaaaa…

Leave A Reply

Your email address will not be published.