I Think I


I’m probably just jealous
I guess I’m getting lonely
I hid my feeling before, but I just can’t do it anymore

Maybe we are not suited to each other
It would be good if we are just friend
From one to ten, we never agree anything
How can we have a relationship?
People say we won’t be able to do it
I’ve been surrounded by those words and I don’t to be anymore

I didn’t realize how I felt about you
Why couldn’t I see?
It was right in front of me
That whole time you were right next to me
Why is it now that I finally see that it is love?

I think I love you
I think I love you that’s how it seems
Cause I miss you
Cause I miss you when you’re not arround
I can’t do anything except think about you
If I look at how things are I know

OST. Full House–terjemahannya–


Sastra di Jogjakarta

–Masa Pemerintahan Sultan HB V–
Seni sastra mulai berkembang. Situasi tersebut didukung hadirnya sastra Pura Pakualaman dengan nominasi karya Serat Darmowijarat karya KGPAA Paku Alam III.

–1969-dekade awal 1990–
Bersama beberapa seniman seperti Ragil Suwarno Pragolapati, Umbu Landung Paranggi mendirikan Persada Studi Klub [PSK] yang bermarkas di mingguan “Pelopor Yogya”. Sementara itu, Suwarno Pragolapati melalui Sanggar Yogya Sastra Pers [SYS] aktif membina generasi muda yang berminat menulis sastra.

–Paruh dekade 1990–
Setelah PSK mengakhiri aktivitasnya, Asa Jatmiko dan sejumlah seniman membentuk Himpunan Sastrawan Muda Indonesia [Hismi], yang mendapatkan dukungan dari Taman Budaya Yogyakarta [TBY]

–2000-sekarang–
Persoalan regenerasi sastrawan muncul di permukaan. Puncaknya, sastra tersingkir dari ajang Festival Kesenian Yogyakarta 2008.

–sumber: Litbang Kompas/BIM, disarikan dari berita Kompas, Publikasi Sri Wintala Ahmad “Tanggapan tentang Sastra Yogya: Sastra Yogya Tidak Pernah Mati!” [2006] dan berbagai sumber.– Kompas, 13 Januari 2009.


Surat Cintaku!!!

Beberapa waktu lalu,ketika liburan kuhabiskan waktuku di rumah., hanya di rumah.Saat itu mataku tertuju pada meja, meja penuh tumpukan buku. Kuulurkan tanganku untuk merapikannya karena aku yakin ayah tak kan sempat merapikannya. Kulihat agenda kerja ayah di tahun 2006 lalu kubuka buku itu dan kutemui goresan pena yang bagus hingga aku tak bisa membacanya. Kuangkat buku itu dan ada sesuatu yang terjatuh. Aku sangat mengenalnya karena itu adalah tulisanku.Surat cintaku.

Surakarta, 10 Maret 2006

Kepada:
Pahlawan hatiku
Di singgasana Kepemimpinan
Ngawi

Assalamu’alaikum wr.wb.

Ayah, gerak-gerik awan itu menuntunku untuk merenung dalam perjalanan ini. Perjalanan yang sebenarnya setiap hari kulakukan.Semua bola mata yang memandang terkalahkan oleh gerak-gerik itu. Sejenak diriku membeku namun pikiranku mengembara dan di ujung pengembaraan singkat itu kulihat bias wajahmu.
Ayah…akhirnya kuberanikan diri merangkaikan kata-kata ini meskipun aku sendiri belum tahu apa yang mesti kuceritakan dan kutuliskan sesuatu untukmu.

Aku berenang melintasi masa lalu meskipun masa itu tidak akan pernah kembali tapi kutapaki jejak-jejak dan lintasannya yang masih berbekas.
Ayah… apa yang mesti kutuliskan kata-kata tentangmu? Aku mencoba merangkai kisahmu dengan membuka kotak berdebu itu di dalamnya ada lembaran-lembaran berisi tulisan dan coretan perasaanmu

Lagi-lagi aku mengudara menyibak sebuah ladang yang masih ada tanda-tanda kehidupan didalamnya yang diberi nama hati.
Ayah… aku mencoba menghapus ego dan bayangan-bayangan kelabu itu untuk melukismu. Kumulai dari bias wajahmu yang sampai kini tak pernah berubah. Wajah yang penuh dengan kekokohan dan menyiratkan catatan tentang asam garamnya kehidupan.

Ayah… kadang ego diri memang seperti hurricane yang liar menghancurkan apapun yang telah tersusun rapi seperti saat tonggak matahari dengan gagahnya melukis fatamorgana air di tengah gurunnya para musafir, tak ada riak mengalahkannya. Mungkin… itulah yang terjadi saat kulawan hurricane itu dengan sapuan angin yang ternyata menambah dahsyat putarannya dan lagi-lagi aku belum mengertimu…

Ayah… engkau memang laki-laki biasa, sangat biasa. Engkau bukanlah seorang sarjana yang ditempa kawah candra dimukanya pendidikan. Engkau juga bukan seorang kyai yang pandai mengajarkan syariat agama. Engkau begitu biasa, hingga terkadang aku tak dapat mengerti dengan kata-kata dan sikapmu yang luar biasa dan kadang itulah yang membuatku menyalahkanmu.

Ayah…tahukah engkau? Terkadang dalam benakku ingin kau seperti Luqman yang mengajarkan pada anaknya untuk rendah diri tapi ku terima kau apa adanya dan aku tak menuntutmu di luar batas kemampuanmu.

Ayah… bibir-bibir sederhana itu selalu mengisahkan langkahmu. Langkah kerja keras, peluh keringat dan penderitaan saat kau mencari sebuah pengakuan. Dalam panjangnya perjalanan ini kulihat kau tak pernah berubah, hanya kini tampak guratan-guratan penuaan melukis wajahmu yang begitu kokoh. Guratan-guratan yang mengisahkan perjalananmu. Langkah-langkahmu sudah mulai letih dimakan waktu, namun tetap kulihat wajah kekokohan dan ketegaran itu.

Ayah… jika dulu, di masa kecilku aku bermimpi, aku adalah bintang ,Bunda adalah bulan dan engkau adalah tonggak matahari di sebuah negeri yang bernama langit kini aku telah menemukan mimpiku itu.

Ayah… baru kutahu saat teriknya tonggak matahari menyengat bumi, saat itulah awan-awan mengumpulkan titik-titik air agar pada saatnya bisa turun menjadi hujan. Tiba-tiba aku begitu merindukanmu, senyummu, candamu yang tak pernah kutemukan di penjara suciku.

Ayah… kucoba merangkai bait-bait kata untukmu. Seperti saat aku menuliskannya untuk bunda, teman sejatimu yang mengantarkanku dan bintang-bintang ke bumi ini.

Ayah… ternyata semua langkahku teriring doamu. Dalam setiap lukaku kutemukan perlindungan di pelukan hangatmu. Kau mengajariku untuk bertaruh seperti saat bunda bertaruh nyawa demi kelahiranku.

Ayah…betapa aku sangat mencintaimu walau cintaku tak kan sebesar cintamu padaNya. Engkau memang kekasihku yang selalu menjadi alasanku untuk melangkah lagi meskipun dunia mengiringi langkahku tak kan setulus pukulanmu saat aku sekarat dan benar-benar jatuh karena aku tahu kau akan mengulurkan tanganmu untuk mengangkatku dari lubang itu.

Ayah… Maafkan aku saat meragukanmu ketika kau putuskan untuk memarahiku karena teramnya malam mengiringi barisan doa dan air mata untukku. Masihkah aku seperti harapanmu kalau selama ini aku belum mampu mewujudkan keinginanmu hanya karena kemalasan dan kecerobohanku?

Ayah… perjalanan ini tidak seperti biasanya. Begitu inginku bertemu pagi dan saat tonggak matahari muncul menyinari bumi kembali karena kau adalah tonggak matahariku.

Ayah…Ayah…Ayah…
Aku tak berharap kau mengerti rangkaian ini namun yang pasti “aku sangat menyayangimu”
Terimakasih atas segala yang kau ajarkan padaku dan maafkan aku…
Maafkan bintangmu…
Maafkan putrimu ini…

Wassalamu’alaikum

Bintang di langit hatimu
“Yang haus akan kasih dan sayangmu”

Kutulis ini di tengah ketidakberdayaanku karena belum mampu berikan cerita untuk ayah –dulu hingga sekarang– Dalam tangis berselimut harapan agar bisa mewujudkannya walaupun jalan yang kutempuh tak sama dalam inginnya…

Untuk semua putra-putri di dunia ini,

Berikan apa yang harus kita berikan–yang terbaik–

Biarkan orangtua kita menangis karena bangga dan bahagia bukan sebaliknya…


Hanya Isyarat

Kucoba semua, segala cara
Kau membelakangiku
Kunikmati bayangmu
Itulah saja cara yang bisa
Untuk menghayatimu
Untuk mencintaimu

Sesaat dunia jadi tiada
Hanya diriku yang mengamatimu
Dan dirimu yang jauh di sana
Ku tak kan bisa lindungi hati
Jangan pernah kau tatapkan wajahmu
Bantulah aku semampumu

[Rasakanlah]
Isyarat yang sanggup kau rasa
Tanpa perlu kau sentuh
[Rasakanlah]
Harapan, Impian
Yang hidup hanya untuk sekejap
[Rasakanlah]
Langit, Hujan,
Detak, hangat nafasku

[Rasakanlah]
Isyarat yang mampu kau tangkap
Tanpa perlu kuucap
[Rasakanlah]
Air, Udara,
Bulan, Bintang,
Angin, malam,
Ruang,waktu, puisi

Itulah saja cara yang bisa
Untuk menghayatimu
Untuk mencintaimu

Dee “rectoverso”–
“Dalam keraguan orang akan merasa lebih baik diam”

Cicak Di Dinding

Nada dan puisi datang dan pergi menghampirimu
Tiada yang mampu merengkuh arti dan isi hati

Kadang benda mati yang memenangkan
tempat di sisimu
Atau hewan kecil yang luput dari pandanganmu

Ku berserah dalam ketakberdayaan
Berbahagia dengan satu impian
Dan satu kejujuran

Ku ingin jadi cicak di dindingmu
Cicak di dindingmu
Hanya suara dan tatapku menemanimu

Dan ku menyadari tanganku
tak kan mampu meraihmu
Walau ku tahu tanganmu tak kan lelah memberi

Tidurlah, tidur, buih ombakku
Percikmu abadi menyegarkanku
Namun biarlah kini…
Kuingin jadi cicak

Seperti cicak di dindingmu
Cicak di dindingmu…
Melekat, menemani, membelai dinding jiwamu…

…[ cicak, cicak di dinding ]…

Dee “rectoverso”–

Para Tersangka Paling Kompak

Empat anak perempuan keluar kamar berjalan menyusuri koridor dengan perasaan yang sama “mau diapakan kita?” Terus berjalan melintasi koridor dan masih sempat-sempatnya bersay hello dengan yang lain. Ghurfah addluyub kosong tak ada konferensi kecil disana karena malam telah cukup larut. Mereka terus berjalan hingga melewati teras depan asrama.
“Huuhhh, aina na’li??” “Mafii kulluh!!!” seorang dari mereka yang teridentifikasi bernama zeinth memulai membuka percakapan.
An’ass jiddan….” ryan pun tak kalah dengan gerutuannya.
“Kholas yaa akhwati… Hayya bisur’ah!!!” Arrozi pun juga tak mau kalah untuk ikut berkomentar, hanya Fath alias si Bontot yang tak berkomentar karena dia satu-satunya anak dari mereka berempat yang sedang mengumpulkan nyawa untuk hidup. Akhirnya tak satupun sandal mereka temukan.
“Payah banget!! Pada main kemana sich tu sandal-sandal?? Ups… Gawat aku gak pake bahasa”, ryan terus saja berceloteh ria dan tak sadar bahwa mereka berada dalam zona bahasa.
Tanpa alas kaki alias nyeker, tibalah mereka di ruang sidang–kamar ustadzah–
Setelah berucap salam, mereka berempat memasuki ruang sidang. Setelah bercakap-cakap tibalah pada inti permasalahan kenapa mereka dipanggil. Ustadzah hanya tersenyum dan berkata, “Kenapa kalian berempat sangat kompak, satu kamar tak ada yang tahfidz hari ini??”
dan mereka berempat menjawab serempak tanpa ada komando, “Kami ketiduran, Ustadzah dan kamar kami kunci dari dalam.”
“Besok jangan terulang lagi yaa…” kata ustadzah.
“Memang kita tukang tidur semua…”

Keesokan hari…
Jam dinding penjara suci berdentang menunjukkan pukul 21.00 ritual akan segera dimulai–mahkamah bahasa– setelah terdengar kata-kata yang tak asing lagi “nahnu min qismu lughoh….bla…bla….”. Faith berseru, “Show time ryan, kakak tuaku kali ini kau tak kan lolos dari mahmakah hehe….”
Hingga akhirnya disebutlah nama mereka berempat tentu saja seantero penjara suci mendengarnya.
Mereka keluar dari kamar melewati koridor–uiiih…serasa jadi artis haha…– teman-teman dari kamar lain berseru pelan ” Chayo… Cah Firdaus dari kemarin kok kompak banget…”
Tibalah mereka di ruang sidang alias di teras depan yang langsung menghadap makam.
Tanpa basa-basi langsung hakim membacakan kesalahan masingt-masing tersangka.
Hakim: “ukhti ryan, antum bilang Payah banget!!! Pada main kemana sich tu sandal-sandal?? Ups… Gawat!! Aku gak pake bahasa…”
Hakim: “ukhti Faith,Aku suka yang panjang…. Hey… buka aja pelan-pelan”
Hakim: ” ukhti Zeinth, dia tuch terlalu gede, pa gak da yang lain”
Hakim: ” ukhti arrozi, huuuhhh kalo habis makan diberesin donk!!!”
Hakim: Great!!! Your punishment…..
Make a story….dan selamat atas kekompakan kalian.

*Salam kompak untuk kalian…
Semua itu tak kan terulang…
Tapi kita akan tetap ingat apa yang pernah kita lakukan… It’s amazing…!!!
Untuk adek-adek jangan ditiru…
Maaf untuk semua…

Ket:
Ghurfah addluyub : ruang tamu
Aina na’li : dimana sandalku?
Mafii kulluh : Gak ada semuanya
An’ass jiddan : aku ngantuk banget
Kholas yaa akhwati, Hayya bisur’ah : Sudahlah… Ayo cepat!