Trilogi Insiden: Fakta dari Sebuah Fiksi

“Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Karena bila jurnalisme bicara dengan fakta, sastra bicara dengan kebenaran. Fakta-fakta bisa diembargo, dimanipulasi, atau ditutup dengan tinta hitam, tapi kebenaran muncul dengan sendirinya, seperti kenyataan. Jurnalisme terikat oleh seribu satu kendala, dari bisnis sampai politik, untuk menghadirkan dirinya, tapi kendala sastra hanyalah kejujurannya sendiri.”

Buku Trilogi Insiden sebenarnya merupakan tiga buah buku yang diterbitkan berbeda dan pada tahun yang berbeda pula, lantas digabungkan menjadi satu oleh Penerbit Bentang Pustaka pada tahun 2010. Ketiga buku yang digabung dalam Trilogi Insiden ini adalah Saksi Mata, Jazz, Parfum & Insiden, dan Ketika Jurnalisme dibungkan Sastra Harus Bicara.

Buku pertama, Saksi Mata adalah buku yang berisi kumpulan cerpen, terbit pada tahun 1994. Buku kedua yang berjudul Jazz, Parfum & Insiden merupakan sebuah novel –Seno Gumira Ajidarma (SGA) selaku pengarang menyebutnya dengan Roman Metropolitan– terbit pertama kali pada tahun 1996. Sedang buku ketiga, Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara merupakan buku yang berisi kumpulan esai, terbit pertama pada tahun 1997.

Pembungkaman Fakta?

Kesamaan latar belakang merupakan kata yang menurut saya pas untuk menggambarkan kenapa ketiga buku ini digabungkan, walaupun SGA sendiri dalam buku ini menentang korelasi antara karya sastra dengan latar belakang penulisannya.

“Saya termasuk orang yang setuju, kalau karya sastra memang tidak harus dihubung-hubungkan dengan latar belakang pembuatannya. Pengalaman seorang penulis mungkin menarik sebagai gosip, tapi ia tidak perlu menjadi faktor yang ikut menentukan kualitas sebuah tulisan.”

(Trilogi Insiden:317).

Semua berawal ketika majalah Jakarta Jakarta (JJ) –majalah dimana SGA adalah pimpinan dari majalah tersebut dan turut membesarkannya sejak masih berbentuk embrio– nomor 282 yang tanggal terbitnya tercatat 23-29 November 1991. Pada edisi tersebut JJ memuat sebuah laporan bertajuk Dili: Heboh Video. Laporan dalam majalah JJ ini merupakan buntut dari sebuah insiden yang kelak dikenal sebagai Insiden Dili 12 November 1991. Berdasarkan keterangan para saksi mata yang dikumpulkan oleh majalah JJ, juga berdasarkan rekaman video yang sudah menyebar sampai luar negeri, insiden tersebut terlihat sadis dan tidak berperikemanusiaan. Dilakukan oleh kelompok militer tanpa tanda-tanda dan identitas jelas terhadap warga sipil Dili, Timor-Timur (Timor Leste sekarang), yang menurut buku ini tengah melakukan demonstrasi dan upacara tabur bunga di komplek pemakaman Santa Cruz.

Rupanya, isi berita yang jujur seperti dalam pemberitaan majalah JJ disesalkan oleh pihak manajemen penerbitan tempat majalah JJ bernaung terlebih oleh pihak militer karena dianggap telah mendiskreditkan lembaga mereka. Mereka menyebutnya terlalu vulgar, tapi SGA sendiri melakukan pembelaan atas pernyataan yang dianggap vulgar tersebut.

“Menulis berita bukanlah soal estetika, bukan keindahan bahasa, melainkan soal fakta: apa yang sebenarnya terjadi?”

(Trilogi Insiden:362)

Setelah pemberitaan mengenai inseiden Dili di majalah Jakarta Jakarta tersebut, SGA bersama dengan Waskito Trisnoadi selaku Redaktur Pelaksana dan Usep Hermawan selaku Redaktur Dalam Negeri dipanggil oleh pimpinan perusahaan tempat majalah JJ bernaung. Apalagi kalau bukan ‘mempertanyakan’ isi majalah yang baru saja terbit. Di akhir cerita, Waskito dan Usep dipindahkan ke tabloid Citra dengan status demosi, artinya dimutasikan karena kesalahan, sedang SGA tetap berada di JJ, namun non job selama beberapa bulan. Inilah awal mula dari pengkerdilan Jakarta Jakarta yang membuat SGA ‘bersuara’ di ruang lain, tidak lagi di ruang jurnalistik. “Cacing diinjak pun menggeliat, apalagi manusia,” kata SGA. Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara, persis seperti kalimat yang tertulis di awal tulisan ini. Ketiga tulisan SGA tersebut terbit ketika Orde Baru masih berkuasa, dan lolos. Padahal isi yang terdapat dalam ketiga buku tersebut sangat jelas menggambarkan insiden Dili –walaupun tanpa menyebut nama dan lokasi kejadian–, cuma bedanya ia hadir dalam ruang fiksi. Siapa sekarang yang akan menyalahkan fiksi?

Trilogi Insiden

Seperti yang tertulis di atas, isi buku ini terdiri dari Saksi Mata (kumpulan cerpen), Jazz, Parfum & Insiden (novel), dan Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (kumpulan esai).

Saksi Mata. Dalam bagian ini, 17 cerpen yang –tentu saja– bernuansa insiden Dili terangkum. Mereka adalah Saksi Mata, Telinga, Manuel, Maria, Salvador, Rosario, Listrik, Pelajaran Sejarah, Misteri Kota Ningi, Klandestin, Darah itu Merah Jenderal, Seruling Kesunyian, Salazar, Junior, Kepala di Pagar Da Silva, dan Sebatang Pohon di Luar Desa. Dari judul-judul kumpulan cerpen itu saja, jelas bahwa cerpen-cerpen ini merupakan representasi dari Insiden Dili 12 November 1991. Terasa ada seberkas fakta yang berusaha bercerita.

Jazz, Parfum & Insiden. SGA mampu meramu laporan-laporan Insiden Dili menjadi sebuah roman yang dibalut sensasi cerita parfum dan filosofi alunan musik jazz. Inti dari novel ini sebenarnya adalah pada bagian insiden yang dikisahkan, berisi laporan-laporan seorang wartawan mengenai sebuah insiden yang terjadi –tentu kita mafhum insiden seperti apa yang dimaksud. Bagian jazz dan parfum hanyalah sebuah pengaburan dari bagian insiden sehingga seolah-olah terpisah dan ketiganya terhubung dengan sosok tokoh bernama aku.

Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara. Bagian ini berisi kumpulan esai. Beberapa menjelaskan tentang proses kreatif dalam menuliskan cerpen yang sebagian besar terangkum dalam Saksi Mata. Bagian lain memuat kisah di belakang layar mengenai proses terbit majalah Jakarta Jakarta edisi 282 sekaligus cerita yang terjadi setelah JJ edisi tersebut terbit, mulai dari tekanan manajemen hingga interogasi dari pihak militer. Sisi lain menggambarkan korelasi antara fiksi, jurnalisme, dan sejarah. Pentingnya menyampaikan kebenaran atas fakta, diceritakan pula dalam bagian ini.

Epilog

Saya setuju dengan pendapat SGA ketika dia mengatakan bahwa jurnalisme adalah pengungkapan fakta. Fakta yang bagian mana? Nah, ini dia! Pengungkapan fakta yang mana adalah kewenangan mutlak dari tim redaksi, terutama dari peliput fakta itu sendiri. Sebuah aksi demonstrasi mahasiswa yang menyebabkan jalanan macet, itu memang fakta, tapi apakah fakta seperti itu cukup layak untuk diungkapkan menjadi berita utama bila dibandingkan misalnya dengan, apa isi demo yang disuarakan mahasiswa? atau apa yang melatarbelakangi demo tersebut menjadi perlu dilakukan oleh mahasiswa? Fakta yang mana yang akan dipilih oleh peliput fakta, itu menjadi hak dia sepenuhnya, tentu nantinya harus sesuai juga dengan kebijakan pemimpin redaksi.
Begitu juga dengan apa yang diungkapkan oleh SGA sebagai sebuah fakta. Bisa jadi Trilogi Insiden hanya selembar fakta yang dia ungkapkan dan bukan kebenaran dari keseluruhan fakta yang seharusnya ada. Ia mengakui sendiri pada buku Trilogi Insiden ini.

“… Saya mungkin tidak sedang membela kemanusiaan, saya hanya bertengkar dengan para pegawai tinggi di perusahaan tempat saya bekerja: bahwa teks yang mereka haramkan saya sebar luaskan. Jangan-jangan ini cuma soal gengsi antarpribadi. Hanya itu….”

(Trilogi Insiden:398)

Kebenaran mungkin akan lebih mendekati ketika pembaca buku ini juga disodori setumpuk penjelasan dari pihak militer yang diduga melakukan penembakan di pekuburan Santa Cruz. Itu pun, saya kira, termasuk fakta yang perlu diketahui. Apa alasan mereka menembak? Atau, Bagaimana situasi yang pihak militer rasakan? Perlu rasanya untuk mendapat penjelasan. Tetapi, rasanya, saya sangat setuju dengan apa yang tertulis dalam cover belakang buku Trilogi Insiden ini, “Seberapa jauh pembantaian orang-orang tidak bersenjata boleh didiamkan, demi kepentingan apa pun dari sebuah lembaga mana pun? Saya ingin mendengar sebuah jawaban.”

 

Nah, ini adalah buku yang saya baca minggu lalu. Teman-teman baca buku apa minggu ini? ^^

Review Buku Seribu Kunang-Kunang di Manhattan

Hai, apa kabar, teman-teman yang baik? Tahun baru semoga dengan semangat baru melalui 2022 ini yaaa ^^. Lembaran baru kali ini, saya buka dengan postingan review buku yang mana ini ‘tugas’ dari klub baca yang saya ikuti. Harapannya di tahun ini dengan semangat baru juga akan ada postingan-postingan sederhana di blog ini. Review buku pertama ini adalah sebuah kumpulan cerita pendek dari seorang sastrawan legendaris Indonesia, yaitu Bapak Umar Kayam. Selamat membaca ^^

Info Buku

Penulis            : Umar Kayam

Judul               : Seribu Kunang-Kunang di Manhattan

Penerbit         : PT Pustaka Utama Grafiti

Tahun             : 2012

Jumlah Hal     : 260

 

Di kalangan para penikmat sastra, nama besar Umar Kayam sudah tidak diragukan lagi, bahkan cuplikan karya-karyanya muncul di berbagai buku Bahasa Indonesia tingkat sekolah dasar hingga menengah atas. Umar Kayam adalah seorang realis. Cerita-ceritanya berkisah mengenai tokoh-tokoh yang hidup dan berada dalam situasi yang jelas. Tidak hanya itu, latar belakang ceritanya pun adalah latar sejarah yang nyata. Alurnya bergerak dari awal tertentu dengan akhir yang semestinya, kadang bisa ditemui dengan gaya kilas balik. Umar kayam begitu menghargai nilai-nilai dasar kemanusiaan.

Hal itu saya rasakan dalam kumpulan cerpen Seribu Kunang-Kunang di Manhattan. Kumpulan cerpen ini menggambarkan keadaan masyarakat modern di Manhattan, New York, Amerika. Cerpen ini ditulis oleh Umar Kayam saat tinggal di sana. Terasa sekali bahwa setiap cerita begitu nyata. Umar Kayam benar-benar merekam situasi masyarakat modern di sana dengan pengetahuannya. Cerpen ini diawali dengan kisah sepasang manusia yang saling sayang dan saling cinta tetapi tidak bisa meninggalkan keegoisan masing-masing. Mereka sibuk dengan dunianya sendiri-sendiri, di mana tokoh wanita yang bernama Jane masih tidak bisa melupakan masa lalunya bersama mantan suami yang bernama Tommy. Tokoh pria bernama Marno yang terus membayangkan desanya di Indonesia. Hubungan mereka yang dianggap tidak benar oleh Marno menimbulkan konflik batin yang akhirnya Marno harus meninggalkan Jane.

Saya merasakan bahwa cerpen ini memiliki nilai sastra yang tinggi di bidang sosial dan budaya. Hal ini dapat dilihat dari sepasang manusia modern yang sibuk dengan dunia masing-masing, nampak egois, dan bebas. Kalimat dalam cerpen yang digunakan Umar Kayam pun memiliki makna tersembunyi dan membuat saya pribadi justru tertarik untuk menuntaskan lembar demi lembar. Suasana yang diceritakan Umar Kayam dalam cerpen ini pun juga terasa nyata.

Dalam cerpen karya Umar Kayamini peristiwa yang terjadi relevan seperti di kehidupan masyarakat. Karena pada cerpenini menjelaskan tentang persamaan dan perbedaan kebudayaan antar wilayah, yaitu budaya Timur (Jawa) dan budaya Barat (Amerika). Di sini terlihat bahwa realisme Umar Kayam adalah realisme orang Jawa yang sangat mengenal kepribadian “Jawa”-nya. Seseorang yang menggunakan nilai-nilai Jawa sebagai sikap hidup karakternya. Umar Kayam menggunakan mitologi Jawa, wayang, sebagai metaphor dalam penceritaannya, seperti ketika Sri Sumarah (dalam cerpen berjudul “Sri Sumarah”) diperbandingkan dengan kunti dan Sembadra atau Mus (dalam “Kimono Biru Buat Istri”) yang merasa dirinya bak Arjuna mencari gamelan Lokananta. Hal ini bagi saya adalah kekuatan dan daya Tarik seorang Umar Kayam.

Secara keseluruhan kumpulan cerpen yang terdiri atas sepuluh cerita ini sangatlah menarik karena mampu menggambarkan isi cerita secara nyata dan memiliki ruh di dalamnya. Cerpen “Seribu kunang-kunang di Manhattan” menyajikan kekosongan jiwa dari manusia metropolis. Mereka ingin kembali kepada impian-impian, tetapi justru pelarian kepada dunia romantis membuat mereka kian terpencil dan sendiri. Selain itu, saya merasa dibawa jalan-jalan ketika membaca kumpulan cerpen ini karena Umar Kayam menggambarkan tempat dalam ceritanya secara rapi dan terasa nyata.

Bagaimana Mendidik Anak Lewat Marah?

Judul: Marah Yang Bijak, Panduan Islami Menjadi Orang Tua Bijak

Penulis: Bunda Wening

Penerbit: Tinta Media, Tiga Serangkai

TahunTerbit: 2013

Cetakan: Kedua November 2016

Editor: Fiedha ‘L Hasiem

 

“Jika marah dianggap wujud rasa sayang maka anak pun akan belajar menyayangi dengan marah pula.” –Bunda Wening-

Bagi saya, pertama kali membaca judul buku “Marah Yang Bijak” di sebuah akun Facebook yang sedang Open Order, tanpa pikir panjang saya pun langsung memesannya karena penasaran dengan pembahasan dalam buku. Lebih-lebih saat menyadari buku ini ditulis pleh Bunda Wening. Udah deh tanpa hitung-hitungan lagi.

Marah dan Tujuan Marah

Bunda Wening memaparkan bahwa kebanyakan dari para ayah bunda sudah tahu bahwa marah tanpa terkendali terhadap anak sebagai respon atau perilaku anak, justru akan memberikan dampak buruk pada anak secara psikologis, baik saat-saat sekarang maupun kelak ketika anak mulai beranjak ABG. Biasanya setelah kemarahan terhadap anak mereda akan ada rasa tidak nyaman yang hinggap di benak kita sebagai orang tua bahkan rasa penyesalan yang mendalam. Dalam buku ini Bunda Wening menjelaskan tentang sikap dan perilaku marah secara jelas dan detail dengan bahasa yang ringan disertai kisah pengalaman yang bisa memudahkan kita mencerna dan memahami dengan baik. Jadi jangan khawatir tertinggal satu informasi karena belum memahami apa yang sudah dijelaskan dalam buku ini.

Bunda Wening berpesan bahwa emosi marah merupakan salah satu anugerah yang diberikan Allah kepada setiap manusia tanpa terkecuali, termasuk para orangtua bahkan anak sekalipun. Di sisi lain, kita juga seharusnya mengerti bahwa marah memerlukan strategi agar tetap bijak dengan mengerti sepenuhnya tujuan dari marah tersebut. Nah, dalam buku “Marah Yang Bijak” ini semakin asik karena dilengkapi dengan lembar hasil assessment sebagai contoh pembahasan tentang tujuan marah.

Pemicu Marah

“Jika selalu ada alasan untuk marah, berarti juga selalu ada alasan untuk tidak marah.” –anomous-

Adapun di bab selanjutnya, dalam buku ini Bunda Wening mengajak kita untuk tahu tentang pemicu marah. Marah kan nggak datang tiba-tiba kan ya? Pasti ada pemicu, seperti kayu bakar kering tidak akan terbakar tanpa sebab bukan? Kesempatan kali ini, Bunda Wening memaparkan empat pemicu kemarahan di antaranya,

  1. Lelah fisik dan mental
  2. Don’t be panic, Mom, calm down!
  3. Tiadak siap dan terbiasa dengan perbedaan
  4. Menggunakan standar orang tua untuk anak

Dalam bab ini hal yang menarik dari pesan Bunda Wening adalah ketika marah lebih sering dilakukan oleh bunda, dibutuhkan ‘kepekaan’ para ayah  untuk mau berbagi ‘lelah’ dengan para bunda. Ingat ya para (calon) ayah! *hoho. Selain itu para bunda berhak secara rutin mendapatkan ‘Hari Tanpa Anak’ sebagai recharge mental. Misalnya, jalan-jalan, ke salon, dan sebagai.

Dampak Marah

Segala hal yang terjadi tentu saja ada sebab akibatnya, termasuk marah juga memiliki dampak. Dampak yang muncul dapat dilihat dari sisi fisiologis dan psikologis, marah dan kaitannya dengan kematangan emosi  seseorang, serta dampak marah bagi pelakunya.

Jika marah adalah anugerah dari Allah dan bisa saja terjadi kapanpun, tentu saja marah bisa dikendalikan untuk dihindari agar tidak benar-benar marah. Hal ini bisa menggunakan beberapa tehnik di antaranya tehnik relaksasi napas adalah cara ampuh atasi galau, breaking state, berlindung kepada Allah dari godaan setan dan papan refleksi diri.

Ada hal yang lebih spesial dari buku ini yaitu, di bab terakhir disajikan kasus dan penganannya. Contohnya, ketika anak tantrum di toko/warung, anak minta jajan berlebihan, kaka adik bertengkar,dan anak ‘mogok’ sekolah. Di bab ini ada 7 contoh kasus dan penanganannya.

Marah acapkali tak bisa kita dihindari dalam sebuah situasi tertentu. Marah terjadi juga bukan tanpa alasan atau bukan tanpa pemicu. Marah menghampiri diri seseorang tanpa pilih kasih, bisa seorang individu, kita sebagai seorang guru atau sebagai orang tua. Marah bisa berwujud dalam berbagai bentuk, misalnya berteriak, melotot, atau pun memukul. Ada kalanya kita berpendapat bahwa dengan marah itulah cara kita mendidik anak secara tegas agar disiplin atau sesuai yang kita targetkan. Nah, buku “Marah Yang Bijak” ini hadir sebagai salah satu solusi cerdas bagaimana kita seharusnya menerapkan marah untuk mendidik anak kita. Buku ini juga memaparkan secara detail seluk beluk tentang marah. Buku setebal 108 halaman ini sangatlah praktis, buku ilmiah yang disajikan dengan bahasa yang ringan sehingga mudah dipahami dan dipraktekkan. Saya pribadi meskipun belum menjadi ibu bisa mengerti tentang bagaimana mengelola kemarahan dan harapannya suatu hari nanti bisa mempraktekkan langsung ketika sudah ada anak-anak dalam pangkuan saya.

 

 

Pertemuan: Jodoh, Passion, dan Blogging

DSC_0001 (3)*dokumentasi pribadi: diambil dari gedung SCTV Tower lantai 14 saat Blogger Gathering BloggerCrony dan Liputan6*

  • Judul Buku: Blogging: Have Fun And Get The Money
  • Penulis: Carolina Ratri
  • Penyunting: Herlina P Dewi
  • Penerbit: Stiletto Book
  • Tebal: 246 halaman
  • ISBN: 978-602-7572-44-7
  • Cetakan I, Desember 2015

Bicara tentang jodoh, saya yakin topik ini akan menduduki ranking pertama di kalangan pemuda pemudi Indonesia. Jodoh yang hampir selalu diidentikkan dengan pasangan hidup. Namun, bagi saya jodoh tak hanya soal pasangan hidup semata, mimpi yang terwujud dengan proses dan jalan yang menyenangkan juga sebuah jodoh. Saling melengkapi dan saling menggenapkan.

Sudah Sewindu saya memiliki blog, sudah sedari kecil saya mencintai aktifitas menulis yang pada akhirnya saya menyadari itulah passion. Sesuatu yang keluar dari hati dan dengan hati. Menentramkan dan menawarkan kedamaian. Sejak 2008, saya memiliki blog dan hanya saya isi yang sebagian besar adalah remah-remah curhatan :D. Kemudian, suatu ketika di tahun 2013 saya memiliki mimpi bahwa saya ingin sekali jalan-jalan dan menjemput pengalaman melalui aktifitas menulis dari blog. Punya keinginan tulisan-tulisan di blog akan lebih memberi manfaat bagi saya ataupun orang yang iseng-iseng main ke blog saya.

Ada semangat menulis, tapi malas untuk nge-blog. Ada berjuta alasan yang akhirnya tulisan-tulisan numpuk di laptop. Lalu diam-diam saya memiliki pinta agar passion saya bertemu dengan jodohnya dalam bentuk apa pun asal dalam kebaikan, gitu aja. Sangat sederhana.

Suatu hari, di sebuah klub baca sebut saja Stiletto Book Club ada pengumuman buku baru yang akan segera terbit. Sampulnya eye-catching dengan paduan warna yang pas dengan judul yang memikat bagi pencari jodoh seperti saya. Dengan kemajuan teknologi yang semakin memudahkan, akhirnya saya mendapatkan jodoh untuk passion saya di dunia blogging tanpa adegan-adegan dramatis tapi tetap romantis. *haha :D. Yuk, kenalan dengan jodoh saya yang satu ini Blogging: Have Fun And Get The Money.

Sebuah buku  yang sangat saya butuhkan layaknya pendamping sebagai bekal untuk merawat dan mengembangkan passion menulis di dunia blogging. Saya pikir, sebagian besar orang akan menganggap bahwa nge-blog itu hal yang mudah: tulis lalu upload. Beres. Bagi saya sendiri, aktifitas nge-blog itu susah-susah-gampang. Susah menjaga mood yang naik turun, melawan segala macam pembenaran menunda nge-blog yang sampai sekarang saya masih berperang melawannya (doakan saya menang*hahaha), menyalurkan manfaat lewat tulisan, cara membuatnya tetap asyik dibaca hingga sebuah kenyataan bahwa nge-blog itu seperti passive income. Yap, bisa mendatangkan rejeki yang ternyata tak hanya materi.

Dalam buku Blogging: Have Fun And Get The Money, sang penulis Mbak Carolina Ratri menjelaskan dengan sangat rinci dan rapi. Mulai dari langkah yang sangat awal tentang sebuah alasan kenapa nge-blog, cara membuat blog, menentukan mau dibawa ke mana blog kita, hingga membuka kenyataan bahwa sebuah blog bisa menjadi ladang passive income bagi pemiliknya.

Saya pribadi sangat menikmati buku Blogging: Have Fun And Get The Money. Yaah, seolah-olah saya berjodoh dengan buku ini ketika 2016 ini saya memiliki keinginan untuk semakin fokus nge-blog meski bukan money-oriented tapi lebih kepada mendapat kepuasaan dari nge-blog.

Salah satu dari banyak hal bermanfaat yang disajikan oleh Mbak Carolina Ratri dalam Blogging: Have Fun And Get The Money yang berkesan sangat mendalam untuk saya adalah bagian Memelihara Semangat Nge-Blog. Di bagian ini ada 6 tips yang membuat saya senyum-senyum sendiri karena saya seakan memiliki jeda untuk praktek. Lebih-lebih di poin yang terakhir Menghadiri acara-acara yang mengundang para blogger, karena di poin ini seakan sangat ajaib menjawab keinginan-keinginan yang sudah lama ada. Hingga buku ini akhirnya saya bawa ke mana-mana saat berkesempatan mengikuti blogger gathering. Di poin itu Mbak Carolina Ratri mengatakan bahwa hadir di sebuah blogger gathering akan membuat kita memiliki bahan untuk menulis di blog, bisa memperluas networking, saling sharing antar blogger hingga mendapat kenalan dengan agensi secara langsung (yang mungkin nantinya akan menawarkan job review), pulang membawa bahan tulisan hingga mendapat suntikan semangat (halaman 113). Bagi saya, it works!

DSC_0002.jpg*dokumentasi pribadi: diambil di news-meeting room SCTV Tower lantai 14 saat Blogger Gathering BloggerCrony dan Liputan6*

Selain semangat menulis, diam-diam buku ini juga memberi suntikan untuk terus banyak membaca karena memperbanyak membaca adalah salah satu cara mencari ide tulisan yang ditawarkan dalam buku Blogging: Have Fun And Get The Money. Sebagai penulis, kita pasti sudah tahu, bahwa tak mungkin orang bisa menulis dengan baik tanpa membaca buku-buku yang bagus. Ini juga berlaku untuk para penulis blog. (Ratri, 2015:97)

Hal menyenangkan lainnya dari buku ini dalam hal mencari ide adalah Go out and socialize. Bagi saya yang seperti layang-layang, kegiatan Go out and socialize adalah hal yang menyenangkan. Belajar bersosialisasi di dunia maya dan di dunia nyata. Menulis jangan sampai membuat seseorang apatis karena terlalu sering di depan laptop. Bersosialisasi di dunia nyata menawarka banyak hal yang bisa dilihat, dirasa, dan didengar. Bersosialisasi di lingkungan bisa menumbuhkan rasa peka yang memang harus dilatih terus menerus serta jangan malas memerhatikan sekitar kita di manapun kita berada. Begitu pesan sang penulis di halaman 96 hingga 97.

Nah, masuk di chapter 4 di buku Blogging: Have Fun And Get The Money adalah memasuki inti dari mengapa buku ini dilahirkan. Dalam chapter 4, dibahas secara mendalam tentang apa itu job review, how to get job review, seluk-beluk ratecard, menulis artikel, when it’s published, dan bookmarking. Setiap poin dijelaskan secara detail dan dilengkapi dengan contoh langkah-langkahnya dalam bentuk gambar tutorial. Jadi jangan khawatir dan takut tidak paham. Dalam buku ini juga dijelaskan tentang Google Adsense dan Program Afiliasi.

Buku ini disajikan dalam susunan yang runut, rapi, dan detail di setiap chapter. Jadi benar-benar sangat mudah dipahami dan memudahkan ketika dipraktekkan. Bahasanya ringan dan mengalir. Kalau saya pribadi, bahagia dan puas berjodoh dengan buku ini. Namun, ada kesalahan teknis atau typo, misal di daftar isi tertulis Google Adesense yang seharusnya tertulis Google Adsense meskipun demikian itu tidak mengubah kualitas buku serta kualitas isi materi. Bukankah typo juga hal yang wajar? Buku ini benar-benar layak dimiliki oleh para blogger khususnya bagi yang memiliki keinginan untuk menjadi seorang blogger yang profesional.

Yuk, semangat ngeblog, semangat berbagi! ^^