The Sense of Taking A Walk

12802816_966673783414609_5333696642681364962_nI wear rok celana Ā šŸ˜€

When I lived in Jogja, taking a walk was my main mode of travel. Every day during the week, I would walk to my campus for attending some classes and back again to dorm. While on the weekend -if I didn’t come home, Ngawi- I would walk to bookstore for wasting time, buying some books even just for reading šŸ˜€ or I would walk around Jogja city, for examples Malioboro, Beringharjo, Jogja Palace, Tamansari, and some museums.

My favorite walks however were during the twilight when the sky was turning into orange color, were after the rain fall when the air was turning fresher than before and sending the aroma and swirling in the windy air then the air will be filled with that particular scent of rain, earthy, and fragrant. Suddenly, it was changing the atmosphere to be more romantic than before to at the one time.

Taking a walk, whether alone or with friends (I often take a walk alone, it feels free) with no particular destination, except just to be happy because the fresh air is the one of nature’s gift for me as human beings truly delight in. In other hand, at the same time, I feel that I have been living in the polluted concrete jungle and increasingly depending on machines as mode of modern transportation, taking a walk is something awkward that becomes more and more alien on daily life in this modern era. I will commit with my habit: to get up a very earlier in the morning then take a stroll on the street nearby and enjoy the air which is still fresh.

I think, taking a walk especially outside in the open air can keep me grounded, savour living in the present and training the sensitivity feeling. Although I realize that taking a walk is back breaking for me. So, the sense of taking a walk is to find unexpected meaning in life. It teaches me about the patience to face something hard and how to stay alive in every single time of mine.

*accompanied by backsong: A Head Full of Dreams

Commuter Marriage, Siapa Takut?

Beberapa kali bahkan mendekati level sering, saya mendapat pertanyaan ‘Bagaimana menjalani LDR agar bisa tetap heppi?’, ‘Bagi tips menjalani LDR dong, Cind’, atau ‘Gimana biar LDR-ku semanis LDR-mu?’ dan masih banyak pertanyaan lain yang berujung pada pertanyaan yang intinya sama, Commuter Marriage atau lebih sering dikenal sebagai Long Distance Relationship atau Long Distance Marriage bagi sebagian besar pasangan yang telah menikah adalah hal tidak mudah dijalani termasuk bagi saya sendiri. Terlebih lagi, saya heran ketika (ternyata) banyak dari teman-teman yang melihat saya tetap happy dengan commuter marriage yang saya jalani sekarang. Alhamdulillah.

Commuter marriage itu mudah diucapkan tapi susah dijalani (haha…iklan). Ya, memang tidak mudah. Bayangkan saja, baru saja menikah yang seharusnya hidup berdampingan, bahu membahu mengerjakan tugas rumah tangga, pacaran tiap malam minggu, makan bersama, pergi belanja berdua dan sederet rutinitas biasa berubah menjadi manis dan spesial (pakai telor), tiba-tiba menjalani rutinitas seperti biasa saat masih menjadi single fighter bahkan (mungkin) ada yang dibarengi dengan berandai-andai jika sang kekasih berada di sisinya. Karena tidak mudah menjalaninya, biasanya akan terlampiaskan di FB atau jejaring sosial lainnya. Ya, itu bentuk ekspresi.

Saya yakin, semua pasangan di dunia ini akan memilih hidup berdampingan tanpa berjauhan. Hidup bersama selayaknya suami istri, membangun rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah dalam satu atap. Memelihara cinta kasih tanpa sejengkal jarak. Menanti buah hati dan menjalani tahap demi tahap kehidupan berumahtangga.

Lalu, bagaimana dengan saya? Saya pun demikian, benar-benar menginginkan kehidupan yang ‘normal’, ingin mencecap manis pernikahan tanpa sejengkal jarak. ‘Jarak’ ini bukan tanpa alasan. ‘Jarak’ ini adalah pilihan dan saya salut pada kebesaran hati serta dukungan yang tak terbilang life-partner saya, kedua (pasang) orangtua saya sekaligus rasa syukur tak terhingga kepada Sang Maha. Alhamdulillah.

Hidup itu pilihan dan semua resiko dari sebuah keputusan harus tetap dihadapi bukan diratapi. Susah atau senang dalam menjalani commuter marriage itu berbeda-beda bagi setiap orang dan cara mengekspresikannya. Ada yang mengekspresikannya dengan update status ‘Kangen Abang yang di sana. Baru dua hari pisah serasa udah dua tahun lamanya’ dst. Ada yang lebih memilih memendamnya, menyendiri, atau mencatatnya dalam diary. Itu pilihan.

Saya menyikapi commuter marriage sebagai resiko dari sebuah pilihan. Saya yang diawal-awal juga sedih, tumbuh rasa iri kenapa memilih ‘jalan’ ini, dan rasa putus asa apakah bisa. Waktu mengantarkan saya belajar dan waktu membuat saya mengubah cara pandang dengan melihat commuter marriageĀ dari sisi yang lain.

Pernikahan adalah dermaga tempat kita berhenti sejenak menjemput kawan seperjalanan. Kawan untuk saling mendukung dan menyemangati. Meski harus menyemai cinta kasih dalam jarak. Bahwa tak ada yang sia-sia dalam sebuah pilihan dan keputusan. Bahagia dan tidak bahagia tergantung pada seberapa besar rasa syukur yang hadir dan usaha nyata mensyukurinya. Bersyukur atas jarak yang membentang. Bersyukur atas waktu dan kesempatan yang menumbuhkan harapan-harapan. Saya bersyukur atas ‘bonus’ karena bisa memperpanjang kontrak tinggal di Jogja. Saya bersyukur atas kesempatan dan waktu-waktu dimana saya masih bisa belajar. Saya bersyukur atas kesempatan dan waktu untuk terus bertatap dengan sahabat-sahabat saya. Saya bersyukur atas waktu dan kesempatan untuk saya terus fokus menjemput takdir di kota ini. Saya bersyukur atas apa yang saya jalani. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Maka bersyukurlah dan engkau akan bahagia.

Commuter marriage ini tak menyisakan ruang kosong yang tak terisi dengan rindu. Setiap detiknya rindu itu tumbuh dan saya hanya bisa menjaganya, menitipkan pada dekapan Tuhan karena Dia adalah sebaik-baik penjaga dan pemberi. Jika rindu sudah overload dan butuh tempat untuk mengekspresikannya saya lebih memilih untuk sendiri, mendekap cinta saya dengan doa-doa. Memeluknya dalam sujud panjang bukan status di jejaring sosial. Sebanyak apapun saya ‘nyampah’ berkata ‘aku merindukanmu’ itu tidak akan memampatkan jarak yang jauh menjadi dekat. Sebanyak apapun kata rindu terucap tidak akan menjadi pintu doraemon yang mengantarkan saya datang di hadapan cinta saya di seberang sana. Rindu-rindu itu teruntai dalam doa yang berulang-ulang. Jika harus menangis masih ada lantai yang akan dengan lapang menerima bulir-bulir hangat. Mendekap cinta dengan doa. Pada saatnya nanti, akan ada buah yang teramat manis, sebuah hikmah yang luar biasa manis. Saya hanya perlu percaya dengan sebaik-baik keyakinan. Berharap, mungkin jarak ini adalah ‘warming up’ untuk jarak-jarak yang tak disangka di depan sana. Semoga Alloh menjaga kami. Menjaga diri dan hati kami. Semoga selalu ada bahagia dan sakinah dalam jarak. Semoga saya danĀ life-partnerĀ diberi kesabaran hingga nanti kami disatukan tanpa jarak. Semoga ini adalah kesempatan dalam rangka mempersiapkan kedatangan kakak kecil dan adik-adiknya ^^
Tetap optimis dan selalu berprasangka baik kepada Sang Maha, Ia tak akan menetapkan kesia-siaan pada hamba-Nya termasuk dalam menjalani commuter marriage.

Yap, itu sikap saya. Bagaimana sikapmu yang sedang menjalani commuter marriage seperti saya?

Makna Hidup dari Ngebut


Tanpa berpikir panjang, saya mengiyakan ketika seorang kawan dengan sangat ringan berkata, “naik motor aja”. Ringan sekali ketika tangan tak terkendali memacu pengendali hingga terlihat 80km/jam dan sesekali 90km/jam. Kecepatan yang standar, mungkin. Menikmati mulusnya jalan Jogja-Solo tanpa hambatan. Berempat berkompetisi di jalanan. Berhenti bersama ketika dihadang lampu merah. Menyalip satu per satu kendaraan di depan kami juga bersama-sama. Menyamakan kecepatan agar tak tertinggal. Namun, pada akhirnya satu diantara kami tertinggal karena mengurangi kecepatan dan terpaksa terhadang satu lampu merah ketika semua telah melaju. Yang lainnya terus melaju. Meski pada akhirnya karena satu pesan mampir di inbox kami “wooee, tungguin dong…!!!”, kami memilih menunggu agar bisa terus sejajar di jalanan itu atas nama rasa setia kawan.

Tiba-tiba teringat tentang satu kuliah saat seorang dosen berkata, “Belajar itu jangan menunggu yang lain belajar. Saat yang lain belajar, Anda santai. Saat yang lain santai, Anda juga ikut santai. Kapan Anda maju? Apa Anda bisa memastikan yang lainnya bersedia menunggu Anda? Anggap ini sebuah kompetisi!”

Ya, mungkin seperti itu. Hidup adalah kompetisi. Terus melaju dengan menambah kecepatan -minimal bertahan dengan kecepatan awal- agar terus sejajar atau mengurangi kecepatan lalu akan tertinggal. Ketika bertemu hambatan atau disapa ujian hanya akan ada dua pilihan, statis atau dinamis. Karena hidup adalah sebuah arena mengubah tantangan menjadi peluang, mengubah kesulitan menjadi kemungkinan-kemungkinan, mengambil resiko dengan sepenuh konsekuensi dan keberanian. Tidak lemah, tidak putus asa, tidak gampang menyerah untuk hidup yang menyejarah.

“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (Ali Imran:146)

Ditulis,
Yogyakarta, 15 Juni 2009

Terimakasih:: Iphe, Ni’mah, Dila untuk having fun di jalanan….

Ada Budaya Dalam Tumpukan Sampah

Manusia hidup dalam suatu komunitas yang dapat menghasilkan berbagai budaya. Budaya dapat berwujud materi dan non materi. Salah satu hasil budaya berwujud materi adalah sampah. Sampah adalah salah satu hasil dari budaya itu sendiri. Seringkali sampah hanya dipandang sebelah mata bahkan ada yang menganggapnya barang yang tak berguna. Banyak orang menganggap sampah hanyalah perusak keindahan, pembuat polusi udara dengan baunya yang tidak sedap dan sumber penyakit. Dengan keadaan seperti itu, sampah yang seringkali membuat orang tidak merasa nyaman pada kenyataannya ternyata masih ada orang-orang yang hidup dari sampah, memunguti barang-barang yang masih bisa memberi mereka penghidupan seperti sampah plastik, botol air mineral dan sampah anorganik lainnya.

Sampah-sampah tanpa kita sadari adalah hasil dari budaya kita. Sampah-sampah yang terbuang tanpa kita berpikir ulang bagaimana memberdayakan lagi hasil budaya yang telah terbuang. Banyak usaha yang bisa kita lakukan untuk daur ulang pada sampah-sampah itu yang pada akhirnya bisa kita manfaatkan lagi keberadaannya. Seperti pemanfaatan sampah plastik terutama kemasan-kemasan detergen dan kemasan makanan ringan menjadi tas-tas sederhana, penutup meja, karpet atau layar untuk menjemur padi (ini bisa ditemui di daerah pedesaan dan telah menjadi barang yang biasa digunakan dan dicari keberadaannya). Akhir-akhir ini, banyak kita temui slogan ‘go green’ sebagai wujud peduli pada lingkungan dan beberapa supermarket –terutama wilyah Yogyakarta– telah menggunakan tas-tas belanja yang bisa digunakan berkali-kali pakai. Selain itu, botol-botol mineral pun bisa didaur ulang untuk hiasan-hiasan rumah tangga seperti tudung saji bahkan botol-botol air mineral itu mulai digunakan untuk membuat alat musik tradisional berupa angklung. Tidak hanya plastik, buah duwet (bentuknya bulat kecil, berwarna ungu gelap, bisa ditemukan di ujung Jalan Sosio Humaniora, dekat bunderan dan tumbuh di halaman Fakultas Filsafat) serngkali terbuang bahkan terinjak tak berguna, akan tetapi buah itu bisa digunakan sebagai pewarna batik alami dan hasilnya tidak kalah bagus dengan pewarna kimia.

Banyak usaha yang bisa kita lakukan untuk menjadikan sampah yang berupa hasil budaya menjadi sebuah budaya baru yang lebih bermanfaat dan bernilai seni. Mari kita ciptakan suasana cinta budaya sendiri dengan ‘bahan mentah’ yang kita miliki sekalipun itu adalah sampah.

DIY, 31 Oktober 2009

Islam Memandang Euforia Cinta

Bulan Februari, bulan yang akan dipenuhi nuansa merah jambu sebagai tanda perayaan hari kasih sayang atau lebih akrab kita kenal sebagai hari valentine. Maka akan kita temui jargon-jargon tidak islami hanya untuk mempromosikan “hari kasih sayang” ini. Lihatlah, di setiap pusat perbelanjaan telah dipenuhi parce-parcel untuk merayakan “hari kasih sayang” bernuansa merah jambu. Tidak hanya di pusat perbelanjaan, media massa pun turut mengambil peran dalam berlomba-lomba menawarkan acara untuk merayakan “hari kasih sayang” dan sebagian besar orang islam juga turut dicekoki dengan iklan “Valentine Day”.

Apa itu Valentine Day?

Valentine Day adalah suatu perayaan yang berdasarkan pada pesta jamuan “supercalis” bangsa Romawi Kuno dimana mereka masuk agama Kristen, maka berubah menjadi “acara keagamaan” yang dikaitkan dengan kematian St. Valentine.

Secara ringkas, sejarah Valentine dan hubungannya dengan peradaban Barat saat ini bahwa valentine merupakan:

* Ritual yang bersumber dari Kristen yang dikukuhkan oleh Paus Galasius untuk mengenang orang suci Kristen yaitu St. Valentino dan St. Marius. * Ritual orang-orang Romawi Kuno yang pagan (menyembah berhala) untuk memperingati dewi Juno yaitu ratu dari segala dewa-dewi bagi perempuan dan dewi perkawinan.
* Ritual bangsa Eropa pada abad pertengahan untuk mencari jodoh.
* Media barat untuk mengokohkan cengkraman peradaban barat.

Jelaslah dari pernyataan di atas, tidak satu pun yang tidak bertentangan dengan ajaran islam. Mari kita renungkan ayat ini:
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya” (QS. Al Isra: 36)

Dalam islam kata “tahu” berarti mampu mengindra (mengetahui) dengan seluruh panca indera yang dikuasai oleh hati. Pengetahuan yang sampai pada taraf mengangkat isi dan hakikat sebenarnya. Bukan hanya sekedar dapat melihat atau mendengar. Bukan pula sekedar tahu sejarah, tujuannya, apa, siapa, kapan, bagaimana dan dimana, akan tetapi lebih dari itu.

Tujuan menciptakan dan mengungkapkan rasa kasih sayang di bumi persada adalah suatu kebaikan. Tetapi bukan semenit untuk sehari dan sehari untuk setahun. Dan bukan pula berarti kita harus berkiblat kepada Valentine yang seolah-olah meninggikan ajaran lain di atas ajaran islam. Bukankah Islam menyerukan kepada umatnya untuk saling mengasihi dan menjalin ukhuwwah yang abadi dalam naungan Illahi?
Bahkan Rasulullah bersabda: “Tidak beriman salah seorang diantara kamu sehingga ia cinta kepada saudaranya seperti cintanya kepada diri sendiri.”

Pada umumnya acara Valentine diadakan dala bentuk pesta pora dan hura-hura. Sedangkan Alloh tidak menyukai hal-hal yang melampaui batas.

“Sesungguhnya orang-orang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya” (QS. Al Isra:27)

“Dan Dia (Alloh) yang mempersatukan hati mereka (orang-orang beriman) walaupun kamu menginfakkan semua kekayaan yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Alloh telah mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Maha perkasa lagi Maha bijaksana.”

Sudah seberapa jauh kita mengayunkan langkah memuja dan merayakan Valentine Day? Sudah semestinya kita menyadari agar sebisa mungkin jangan terperosok lebih dalam lagi. Tak perlu iri hati dan cemburu dengan ritual dan bentuk ungkapan kasih sayang agama lain. Bukankah Alloh itu Ar Rahman dan Ar Rohim. Bukan hanya sehari untuk setahun. Dan bukan pula dibungkus dengan hawa nafsu. Tetapi yang jelas kasih sayang dalam islam lebih luas dari semua itu.

Semoga Alloh memberikan kepada kita hidayahNya dan ketetapan hati untuk dapat istiqomah dengan islam sehingga hati kita dapat menerima kebenaran untuk menjalankan syari’atnya…

Amiin….


Sastra di Jogjakarta

–Masa Pemerintahan Sultan HB V–
Seni sastra mulai berkembang. Situasi tersebut didukung hadirnya sastra Pura Pakualaman dengan nominasi karya Serat Darmowijarat karya KGPAA Paku Alam III.

–1969-dekade awal 1990–
Bersama beberapa seniman seperti Ragil Suwarno Pragolapati, Umbu Landung Paranggi mendirikan Persada Studi Klub [PSK] yang bermarkas di mingguan “Pelopor Yogya”. Sementara itu, Suwarno Pragolapati melalui Sanggar Yogya Sastra Pers [SYS] aktif membina generasi muda yang berminat menulis sastra.

–Paruh dekade 1990–
Setelah PSK mengakhiri aktivitasnya, Asa Jatmiko dan sejumlah seniman membentuk Himpunan Sastrawan Muda Indonesia [Hismi], yang mendapatkan dukungan dari Taman Budaya Yogyakarta [TBY]

–2000-sekarang–
Persoalan regenerasi sastrawan muncul di permukaan. Puncaknya, sastra tersingkir dari ajang Festival Kesenian Yogyakarta 2008.

–sumber: Litbang Kompas/BIM, disarikan dari berita Kompas, Publikasi Sri Wintala Ahmad “Tanggapan tentang Sastra Yogya: Sastra Yogya Tidak Pernah Mati!” [2006] dan berbagai sumber.– Kompas, 13 Januari 2009.