Di mana (Seharusnya) Meletakkan Mimpi dan Hati?
Saya pikir, setiap orang pastilah memiliki mimpi yang ingin mereka raih untuk benar-benar mewujudkan agar menjadi nyata. Saat kita sedang berproses membuatnya nyata, mimpi-mimpi itu akan kita simpan di sebuah tempat yang hanya kita tahu. Saya pun demikian, saya memiliki tempat untuk menyimpannya.
Menempuh perjalanan udara adalah hal istimewa, bagi saya. Udik? Ah, biarlah. *hahaha. Berada di ketinggian 29.000 kaki di atas permukaan laut, menikmati awan-awan putih seperti kapas terkoyak oleh si burung besi. Menikmati lapis demi lapis arakan awan yang akhirnya menyadarkan saya pada sebuah kata bijak, “Di atas langit masih ada langit.” Biasanya kata bijak itu digunakan ibu sebagai pengingat untuk saya bahwa di dunia ini masih akan ada yang lebih di atas saya. Sekaligus mengingatkan saya, karena akan ada langit di atas langit maka menundukkan hati akan jauh lebih baik.
Saya menyukai ketika pesawat menuju titik tertinggi. Ketika bumi terlihat menjauh namun tetap memesona seperti maket para arsitek. Seriously, momen ini saya ingat drama korea “Personal Taste”, ingat Jo Ji Hoon seorang arsitek muda yang akrab dengan desain dan maket. *hahaha. Oke, back to the main topic, pesawat yang perlahan naik yang mampu menawan mata atas keindahan bumi yang lama-lama akan sejenak menghilang tertutup arakan awan.
Langit. Di antara arak-arakan awan itulah, saya menyimpan setiap harap dan mimpi-mimpi. Meletakkannya di antara arak-arakan awan di tiap lapisan langit. Membumbung tinggi yang akan dijangkau dengan semangat dan rasa optimis. Jarak yang sangat jauh akan terasa dekat dengan untaian doa-doa yang menguatkan dan tangan Tuhan yang bekerja memberi jalan dalam kemas kemudahan. Di antara mimpi dan saya ada ruang yang penuh dengan kejutan, di dalamnya ada ikhtiyar dan tawakkal, ada kisah tentang lelah bahkan sesenggukan yang terkadang tanpa alasan, begitu saya menyebutnya.
Saat segala kerja dan tenaga dikeluarkan untuk mencapai mimpi-mimpi yang ada di langit, saat itu juga saya akan merasa di titik bahagia. Titik bahagia di mana sering melenakan, yang tanpa sadar membuat saya jumawa. Jumawa pada diri, jumawa pada usaha yang seakan segalanya ada di tangan saya. Jumawa pada buket-buket pujian yang menghampiri. Saat itu akan ada masa saya lupa.
Mengertikah kalian siapa yang tiba-tiba membuat saya terlena pada pencapaian? Ada makhluk kecil yang bersemayam dalam diri saya. Ia seperti ruang dengan serat-serat yang halus. Segala suara yang terdengar darinya, sejatinya adalah kejujuran. Namun, tak jarang saya pun mengabaikannya. Ia, makhluk kecil yang rapuh, mudah terbolak-balik, mudah goyah, mudah lemah. Ia, makhluk kecil yang senantiasa digenggam oleh Tuhan yang karenanya saya selalu meminta untuk ketetapannya.
Ia adalah hati (nurani). Ia adalah makhluk kecil pengendali rasa yang bahkan logika tak mampu berdebat dengannya. Kejujurannya yang bahkan otak akan menolaknya hingga saya sebagai pemilik makhluk kecil itu menjadi tak waras dalam bimbang. Makhluk sekecil itu, mampu mengambil alih segala apa yang ada pada diri. Ia mampu mengendalikan kata, sikap, pola pikir, sudut pandang, segalanya ada di tangannya. Ia, makhluk kecil itu selalu mudah goyah hingga saya selalu ingin mengajukan proposal pada Tuhan agar selalu menjaganya dalam keadaan baik, memiliki prasangka yang baik, sikap yang baik, hingga kata yang menenangkan bagi hati-hati yang lain.
Karakternya yang seperti itu membuat saya mencari tempat yang nyaman untuk menyimpannya. Tempat di mana ia akan terjaga dari jumawa dan sia. Akhirnya, biarlah si kecil ini berada di bumi. Biarlah tetap bisa rendah hati namun bukan rendah diri. Biarlah ia selalu menengadah pada langit sekadar menengok mimpi yang akan menunggu giliran untuk menjadi kenyataan. Biar si kecil ini menjadi prasangka baik di tiap ikhtiyar, doa, dan rasa lelah saat harus memangkas jarak antara ‘bumi’ dan ‘langit’. Ia, kecil namun tidak kerdil.
Di antara arakan awan yang terbelah oleh si burung besi ini, salah satu doaku membumbung menuju arsy semoga Engkau berkenan menyimpan mimpi-mimpi dan harapan-harapan hamba tetap di langit dan meletakkan hati hamba untuk tetap tinggal di bumi.
Ini ceritaku, mana ceritamu? Di mana kalian meletakkan mimpi dan hati kalian? ^^
Aku suka bingung kalau ditanya ttg mimpi k Cindi..
pegangan dulu Kak Ran kalau bingung…hehe
atau bisa jadi disebut keinginan kali ya…
Mimpi dan hati mesti selaras juga seirama agar berjalan baik sebagaimana kodrat-Nya