Entschuldigung

“Ingatkah kau, drama di bulan ini?”
Sebenarnya tak ada maksud untuk membuka luka lama. Sebenarnya aku pun tak ingin mengingatnya tapi aku harus tunduk pada permainan perasaan dan pikiran yang kemudian memainkan slide show dua tahun yang lalu. Bulan ini, Mei–entah hanya aku yang ingat atau kau dan mereka pun juga mengingatnya– genap dua tahun (tepatnya tanggal berapa, aku lupa. Yang kuingat itu terjadi di bulan Mei) perdamaian kita tanpa tahu apa masalahnya secara jelas. Kekanak-kanakkankah? Keegoisankah? Kesalahpahamankah? Entahlah. . . Kutahu kita saling menyakiti atau hanya aku yang menyiksa diri. Kau selalu sembunyi di balik senar gitar dan temaram malam. Aku tak tahu, apakah kau merasa aku melukaimu hingga kau tak merasa tersakiti karena aku telah sering menanam luka itu dalam hatimu. Ya, kau telah terbiasa. Orang bilang padaku, kau bisa merajut senyum untuk mereka tapi mahalkah senyum itu untukku? Orang selalu memujimu tapi aku mengenalmu dengan versi yang kumau. Itulah masalahku.


***

Mei 2007

Malam memuram. Kita terdiam. Diamku, diammu, diam kita telah melukai udara membuat alam enggan bersuara. Aku yakin malam ini kau sedang bercumbu dengan sepotong kue kuning di angkasa sambil kau susutkan airmatamu. Aku tak pernah tahu bagaimana sakitmu karena kau tak pernah brontak padaku. Diammu adalah sangkar bagi perasaanku karena aku tak pernah tahu apa yang kau rasa. Aku hanya bisa menebaknya. Inginku dalam diammu kudengar banyak suara karena aku yakin diammu adalah kata-kata. Namun, lagi-lagi aku tak bisa. Malam ini, aku tak melihatmu tapi tangisanmu yang tak terlihat telah merobek waktuku dan menghampiriku dengan caranya sendiri.

Kita sama-sama tahu bahwa kata terlahir dari huruf yang berpasangan. Kita juga sama-sama tahu seindah apa pun kata terukir ia tak kan bermakna jika tanpa jeda. Kita pun sama-sama mengerti akan hal itu dan kita pun menyadari jeda di antara kita kian melebar. Kuputuskan datang menjengukmu ke tempat yang kau agung-agungkan sebagai singgasanamu. Kedatanganku ke singgasanamu kali ini bukan tanpa misi. Aku ingin kita sepakat menghapus beberapa jengkal jeda yang kita punya lalu kita ciptakan spasi secukupnya agar kita bisa bergerak untuk saling mengerti dan menghargai. Itulah misiku.

Dalam raga kita ada hati, dalam hati masih ada satu ruang tak bernama. Ruang itu kecil, isinya sangat halus, lebih halus daripada serat sutera. Berkata dengan bahasa yang hanya bisa dipahami oleh nurani. Harapanku, apa yang ada dalam genggamanku saat ini adalah kunci untuk membuka ruang tak bernama itu agar kutemukan serbuk-serbuk pengampunan darimu. Kunci itu adalah misiku yang kuat yang bisa menguatkanku hingga aku ada di hadapanmu. Seperti sekarang ini. Kita tak sendiri. Kita berdelapan. Ada enam belas bola mata yang menyaksikan termasuk mata kita yang sibuk mencari jawaban, sibuk mengumpulkan daya untuk sebuah pengakuan atas nama kejujuran. Kita tertunduk. Sibuk. Diam tanpa kata.

“Mulailah agar semua ini cepat berakhir”, batinku. Semua terdiam seolah biarlah kita bicara dengan hati. Bicaralah maka akan kita dengar tanpa kita perlu alat, tak perlu hadir hanya untuk bercakap.
“Ayolah…!!!”, seruku tapi tidak ada gelombang untuk menyuarakan. Hening. Aku masih diam sambil menunggu seseorang yang telah berjanji menemaniku untuk perdamaian ini. Dia teman seperjuangan dalam menyelesaikan kontrak kerja yang telah mengikat kami dalam satu tim.
“Maaf. . . Maaf. . . Aku terlambat”, teriaknya. Kutatap dia dan dalam tatapanku kuingin dia melihat kelegaan dalam diriku.
“Akhirnya kau datang kawan”, seruku tapi masih tetap dalam kebisuanku.
“Kedatanganku kemari. . .” Itulah awal kata yang meluncur dari bibirku.
” Jangan katakan apa pun!”, perintahnya. “Sebelum kau terima tisu ini. Aku tak ingin melihat airmatamu keluar sia-sia. Aku terlambat karena membeli ini.” lanjutnya dengan gaya slengekkannya. Itu sangat menghiburku di saat seperti ini.
“Terimakasih. . .” Aku jawab dengan sebuah anggukan.
“Di saat kritis seperti ini kau masih sempat bercanda?”, pikirku. Kubalas slengekkannya, “Apa kau cuci dulu tisu ini sebelum kau berikan padaku? Baunya seperti deterjen. Bau Rinso.” Dia tertawa dan aku semakin lega akan kehadirannya. Suasana mulai mencair. “Terimakasih kawan, ini sangat harum.”

Kumulai merajut kata. Semua diam. Semua masih menunggu mutiara yang akan terlahir dalam perdamaian ini. Tak perlu menyita banyak waktu. Akhirnya selesai juga rajutan kata itu. Aku memulai negoisasi itu.
“Kedatanganku kali ini yang pertama untuk menyambung persaudaraan di antara kita. Kita tahu apa yang terjadi tanpa perlu ditutupi lagi. Aku ingin meminta kerelaanmu untuk memaafkanku atas semua sikap dan keegoisanku. Jika boleh, ijinkan aku memintamu agar kau tak pergi dari kontrak yang telah kita sepakati bersama. Kita semua saling membutuhkan untuk saling melengkapi. Maukah kau menerima permintaanku?”

“Tak pantas rasanya jika kau meminta itu padaku. Aku tak pantas menerimanya. Justru aku yang harus meminta maaf atas semua ini. Aku hanyalah sehelai benang cacat yang hadir dalam selembar kain yang kau sulam sangat sempurna. Maka buanglah benang cacat itu agar kainmu tetap indah. Aku rela jika. . .”

“Dalam sulamanku tak ada benang cacat karena aku telah memilihnya dengan teliti. Aku mohon, kembalilah bekerja dan sempurnakan keberadaan kami. Cobalah. . .!!!”

Kulihat kau tak menolak dan kau pun juga tak mengiyakannya. Biarlah, kali ini kubiarkan kau berfikir. Kubiarkan kau berdiskusi dengan pikiran dan nuranimu sendiri tanpa perlu aku menerobos masuk untuk mengetahui proses yang sedang kau jalani. Berakhir sudah negoisasi perdamaian ini walau terkesan menggantung. Masih saja aku membiarkan nuraniku berharap padamu agar pintu untuk memasuki ruang itu terbuka lebar. Agar spasi yang telah hadir terhapus hingga tercipta jeda yang wajar. Bukalah dirimu karena membuka diri berbeda dengan menyerahkannya. Di ruang kecil itu ada teras untuk tamu. Tak lelah aku berharap agar aku bisa menjadi tamu dan duduk di teras itu sebagai sahabatmu. Salah satu sahabat dari sekian banyak sahabat yang kau miliki. Sulit sekali aku mengatakannya. Akhirnya terkatakn juga, “Entschuldigung.”


***

Lamunanku pun selesai bersama bulir-bulir peluh langit yang gugur karena lelah berarak. Teater singkat yang menjebakku pada m
asa lalu itu telah menutup layarnya tanda pementasan singkat itu telah usai. Andai aku tahu kemana peluh-peluh langit itu bermuara maka akan kutitipkan pesan singkat itu untukmu. Andai pesan itu sampai maka akan kau dapati aku berucap, “Entschuldigung. . . Entschuldigung. . . Entschuldigung. . . !!!”

Teater yang kuciptakan terasa amat sempurna karena sayup-sayup terdengar sebuah lagu merdu dan kubiarkan lagu itu melintas hingga tertangkap oleh pendengaranku.

Pertengkaran Kecil


Sedih bila kuingat pertengkaran itu
Membuat jarak antara kita
Resah tiada menentu
Hilang canda tawamu
Tak ingin aku begini
Tak ingin begini

Sobat rangkaian masa yang telah terlewat
Buat batinku menangis
Mungkin karena egoku
Mungkin karena egomu
Maaf aku buat begini
Maaf aku begini

Bila ingat kembali janji persahabatan kita
Takkan mau berpisah karena ini
Pertengkaran kecil kemarin cukup jadi lembaran hikmah
Karena aku ingin tetap sahabatmu

By : Edcoustic

Dengarkanlah. . . !!! Rasakanlah. . . !!! Kisah ini teramat indah untuk disia-siakan. . .

Kota Berhati Nyaman, Mei 2009

“Senyum dan airmata akan terasa indah jika tepat pada waktunya”
“Terimaksih kawan-kawan karena kalian telah mengajariku berkisah”

Note: “Entschuldigung” diambil dari bahasa jerman yang berarti “Maafkan aku…”





Tak Ada Yang Salah

“Mbak, ini fotomu waktu masih kecil?”
“Iya, kenapa?”
“Sangat cantik.”

Tak sengaja aku masuk ke kamar temanku, Mbak Ning saat dia merapikan kamarnya. Kulihat selembar foto di atas meja belajarnya. Foto masa kecilnya. Sangat tertutup. Dia telah berkerudung sejak kecil. Sangat cantik. “Apakah aku punya foto yang sama seperti Mbak Ning saat aku kecil?”, lirihku.

***

Selalu seperti itu. Tiap kali putriku pulang, selalu kudapati ia dalam waktu luangnya, tidur tengkurap di lantai kamarnya, mengangkat kedua kakinya dan mengadunya satu sama lain, ditemani bantal dan ‘bed cover’ kesayangannya sambil membaca, serta alunan musik yang memeriahkan suasana kamarnya, entah apa yang dibacanya. Kemudian dia akan berbicara sendiri, mengomentari apa yang dia baca. Kubiarkan saja seperti itu karena tak setiap hari aku melihatnya. Tetapi kali ini berbeda, kulihat dia tak membaca melainkan melihat album-album foto. Sangat asyik kelihatannya. Tetap kubiarkan dia bersama dunianya. Aku hanya diam tanpa kata di tempatku berdiri. Tanpa kusadari, ingatan itu hadir tanpa permisi.

“Bunda, aku ikut tari di sekolah untuk acara perpisahan kakak-kakak kelas nol besar besok.”
“Benarkah? Ikut tari?”
“Hmm…”, dengan anggukan penuh kemantapan.
“Kata Bu Qonik, suruh bawa selendang dan kipas. Bunda belikan selendang dan kipas yaa?”
“Iya, nanti kita beli.”
“Yang bagus yaa Bunda.”
“Iya..”
“Yang warnanya merah.”
“Iya, nanti kamu pilih sendiri.”

Sentuhan tangan suamiku memaksaku mengakhiri pengembaraan masa lalu.
“Ayah, lihat putri kita. Aku tak menyangka jika dia akan seperti sekarang. Ayah ingat saat dia kecil, dia ingin sekali menjadi penari atau balerina. Dia selalu menari. Dia ingin memakai gaun balerina itu. Menari di atas panggung dengan alunan musik klasik. Ayah ingat?”
“Iya, aku ingat. Dia sangat centil. Dia akan marah jika pita dan baju yang kau pilih tak sama. Iya kan?”
“He-em…”

“Ayah, Bunda temani aku…”, teriaknya.
“Apa yang kau lakukan, Yang?”
“Bunda, coba lihat, apa ini aku?”
“Iya. Memangnya apa yang sedang kau cari?”
“Aku ingin foto masa kecilku sama seperti foto masa kecil temanku di asrama, Bunda. Tapi aku tak mendapatkannya. Apa Bunda menyimpannya untukku?”
“Foto seperti apa?”, jawab kami serentak.
“Foto seperti aku yang sekarang Bunda, yang pake jilbab. Ada?”

Aku hanya diam. Suamiku hanya tersenyum padaku. Kutangkap isyarat agar aku bicara jujur padanya.

“Maafkan Bunda, Sayang. Bunda membesarkanmu jauh dari aroma surga. Bunda membesarkanmu hanya dengan dunia. Maafkan kami yang berbeda dengan orangtua yang lain dimana mereka bisa mengajari dan menemani anak-anaknya merenda waktu di atas sajadah panjang. Memulai dengan syahadatain dan mengakhirinya dengan salam. Membaca surat-surat cinta dari Izzati Rabbi di setiap waktu-waktu mereka. Kami pun juga masih belajar untuk berbenah. Maafkan kami, Sayang…”

“Bunda, tak ada yang salah jika aku tak memiliki apa yang dimiliki oleh teman-temanku. Tak kan kupinta lagi apa yang tak ada dan apa yang telah lalu. Bunda, jangan ucapkan kata maaf lagi karena tak ada yang salah. Apa pun yang Ayah dan Bunda beri padaku itu adalah ni’mat dan anugerah terindah. Aku juga punya apa-apa yang tidak mereka miliki. Aku sayang Bunda dan Ayah karena Allah. Aku bangga memiliki kalian.”

Dia mencium tanganku. Mencium pipiku dan memelukku. Hanya rasa sesal yang tertinggal.

***

Kau beruntung Mbak Ning dan aku jaga beruntung dengan apa yang kumiliki. Tak ada yang salah dengan masa laluku. Ini adalah skenario Tuhan yang harus berjalan dan dijalani. Tak ada yang salah.

El Firdaus zone, Februari 2008
Dalam suasana hangat menyambut datangnya “rememberance”





Islam Memandang Euforia Cinta

Bulan Februari, bulan yang akan dipenuhi nuansa merah jambu sebagai tanda perayaan hari kasih sayang atau lebih akrab kita kenal sebagai hari valentine. Maka akan kita temui jargon-jargon tidak islami hanya untuk mempromosikan “hari kasih sayang” ini. Lihatlah, di setiap pusat perbelanjaan telah dipenuhi parce-parcel untuk merayakan “hari kasih sayang” bernuansa merah jambu. Tidak hanya di pusat perbelanjaan, media massa pun turut mengambil peran dalam berlomba-lomba menawarkan acara untuk merayakan “hari kasih sayang” dan sebagian besar orang islam juga turut dicekoki dengan iklan “Valentine Day”.

Apa itu Valentine Day?

Valentine Day adalah suatu perayaan yang berdasarkan pada pesta jamuan “supercalis” bangsa Romawi Kuno dimana mereka masuk agama Kristen, maka berubah menjadi “acara keagamaan” yang dikaitkan dengan kematian St. Valentine.

Secara ringkas, sejarah Valentine dan hubungannya dengan peradaban Barat saat ini bahwa valentine merupakan:

* Ritual yang bersumber dari Kristen yang dikukuhkan oleh Paus Galasius untuk mengenang orang suci Kristen yaitu St. Valentino dan St. Marius. * Ritual orang-orang Romawi Kuno yang pagan (menyembah berhala) untuk memperingati dewi Juno yaitu ratu dari segala dewa-dewi bagi perempuan dan dewi perkawinan.
* Ritual bangsa Eropa pada abad pertengahan untuk mencari jodoh.
* Media barat untuk mengokohkan cengkraman peradaban barat.

Jelaslah dari pernyataan di atas, tidak satu pun yang tidak bertentangan dengan ajaran islam. Mari kita renungkan ayat ini:
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya” (QS. Al Isra: 36)

Dalam islam kata “tahu” berarti mampu mengindra (mengetahui) dengan seluruh panca indera yang dikuasai oleh hati. Pengetahuan yang sampai pada taraf mengangkat isi dan hakikat sebenarnya. Bukan hanya sekedar dapat melihat atau mendengar. Bukan pula sekedar tahu sejarah, tujuannya, apa, siapa, kapan, bagaimana dan dimana, akan tetapi lebih dari itu.

Tujuan menciptakan dan mengungkapkan rasa kasih sayang di bumi persada adalah suatu kebaikan. Tetapi bukan semenit untuk sehari dan sehari untuk setahun. Dan bukan pula berarti kita harus berkiblat kepada Valentine yang seolah-olah meninggikan ajaran lain di atas ajaran islam. Bukankah Islam menyerukan kepada umatnya untuk saling mengasihi dan menjalin ukhuwwah yang abadi dalam naungan Illahi?
Bahkan Rasulullah bersabda: “Tidak beriman salah seorang diantara kamu sehingga ia cinta kepada saudaranya seperti cintanya kepada diri sendiri.”

Pada umumnya acara Valentine diadakan dala bentuk pesta pora dan hura-hura. Sedangkan Alloh tidak menyukai hal-hal yang melampaui batas.

“Sesungguhnya orang-orang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya” (QS. Al Isra:27)

“Dan Dia (Alloh) yang mempersatukan hati mereka (orang-orang beriman) walaupun kamu menginfakkan semua kekayaan yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Alloh telah mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Maha perkasa lagi Maha bijaksana.”

Sudah seberapa jauh kita mengayunkan langkah memuja dan merayakan Valentine Day? Sudah semestinya kita menyadari agar sebisa mungkin jangan terperosok lebih dalam lagi. Tak perlu iri hati dan cemburu dengan ritual dan bentuk ungkapan kasih sayang agama lain. Bukankah Alloh itu Ar Rahman dan Ar Rohim. Bukan hanya sehari untuk setahun. Dan bukan pula dibungkus dengan hawa nafsu. Tetapi yang jelas kasih sayang dalam islam lebih luas dari semua itu.

Semoga Alloh memberikan kepada kita hidayahNya dan ketetapan hati untuk dapat istiqomah dengan islam sehingga hati kita dapat menerima kebenaran untuk menjalankan syari’atnya…

Amiin….


Catatan Di Akhir Dal

Bulan ini –januari– menjadi puncak atas kerinduan yang menghujam. Tetap saja sama karena aku hanya menyulam kebisuan. Lantas, kutemukan setetes air hujan pertama yang langsung menghujam pusara ladang hatiku.
Hidup tak hanya perjuangan walaupun perjuangan itu sendiri adalah puncak kenikmatan dalam kehidupan. Benar katamu kawan hidup adalah pilihan antara realita, egoisme dan idealisme.

Apa yang telah terjadi?

1 januari kulewatkan waktuku di tanah kelahiranku bersama mereka yang penuh cinta.
Berdekatan dengan alam jika aku kesana karena memang di desa.

Lalu, ku kembali di kota yang baru 5 bulan kusinggahi. Tak perlu lama-lama menghela nafas, Ujian Agak Serius alias UAS menyita perhatianku tapi jangan percaya jika aku melewatkannya dengan kencan bersama buku-bukuku. Ujian Agak Serius cukup membuat berantakan kamarku karena uluran tanganku tak sampai menjangkau mereka saat Ujian Agak Serius itu datang.

Belum selesai UAS, kuhabiskan weekend di kota budaya, sekedar jalan-jalan, memungut masa lalu yang tertinggal dan “nostalgila” dengan mereka. Galabo saat malam tempat kami ‘berkencan’ sambil memaksa menggali memory yang telah lalu dan sedikit saling “mencela”.
Ada Parade Sastra di University Club UNS dalam rangka galang dana bersama FLP Solo, KETIK dkk. Ingin sekali datang tapi sayang, bukan ke acara Parade Sastra aku datang melainkan ke acara pertunangan. Sebel-sebel mangkel sedikit seneng… Intinya Aku di dahului lagi… Lagi…dan lagi hehe…

Mendarat lagi di kota “never ending asia”, di kota ini kami melahirkan komunitas baru “Laskar Jogja Bersatu” –untuk sementara, ini dulu namanya– Tak sekedar Buangan tapi kami anak BRILLIANT.

Dalam perjalanan ini, Maafkan aku atas apa yang kulakukan yang kurang berkenan termasuk sifat lupaku. Kawan maafkan aku yang sering terlambat mengucapkan “Idul Milad” pada kalian terutama di bulan ini, terutama lagi yang milad di tanggal 7 dan 9, Afwan nasiitu jiddan…
Ini hanyalah secuil dari waktu yang terlewat. Ini hanya untuk pengingat.

Februari “Tak Tahan Lagi”

Ingatkan aku tentang satu rindu yang kurasa padamu. Satu minggu lagi kan terobati –InsyaAlloh, Rabbi…sampaikan aku di masa itu– dalam pertemuan kecil, sehari bersamamu. Sehari bersama GRAVITY.
Tak hanya bersama GRAVITY, reuni KETIK dalam rangka reorganisasi akan ambil posisi penawar hati dalam kubangan rindu tak bertepi.

Akan terus berharap, semoga lebih baik dari hari yang telah lalu….
Februari………Tak Tahan Lagi…..

Menyerah untuk Pasrah

Katakanlah: “Tidak ada satu musibah pun akan menimpa kami melainkan yang telah ditetapkan oleh Alloh (di Lauh Mahfudz) atas kami… (QS. At Taubah: 51)

Pasrah…
Bersikap pasrah memang terasa lebih berat karena pada dasarnya kita tidak mau menerima takdir. Kita punya keinginan yang terkadang melebar ke segala arah, begitu kita dipaksa menerima sesuatu yang tidak kita inginkan saat itu kesedihan muncul.

Terlalu sering kita merasa bahwa seharusnya kita bisa mengubah segala sesuatu, bahwa teknologi dan ilmu pengetahuan akan membereskan apa pun yang tidak beres. Kita pasti memiliki keyakinan bahwa “jika ini tidak sesuai dengan apa yang aku inginkan maka akan segera kuperbaiki”. Keyakinan bahwa kita bisa memperbaiki masalah membuat kita sulit untuk berpasrah. Lakukanlah, apabila kita bisa mengubah kondisi menjadi lebih baik.

Sikap pasrah atau kemampuan untuk menerima apa pun yang diberikan Alloh baru akan terasa penting ketika kita tak punya pilihan lagi. Ketika kita mustahil kembali sehat, ketika kita tak mungkin lagi kembali ke masa kanak-kanak, ketika kita tak mungkin mendapatkan apa yang kita inginkan; saat itu kepasrahan menjadi penting.

Kemampuan menerima bukanlah suatu yang datang begitu saja. Kemampuan menerima diperkuat oleh pengalaman-pengalaman. Menyatakan “OK, memang begitu adanya” sangatlah mudah, tapi tidak semudah itu. Susahnya menemukan sikap pasrah berawal dari ilusi tentang kemandirian bahwa kita bisa mengatasi diri sendiri, memilih, dan menjalaninya tanpa bantuan siapapun. Ketika berbicara tentang sikap pasrah, kita harus memikirkan bahwa kemampuan menerima akan berkembang seiring waktu. Kemapuan menerima menjadi semakin kuat dan kuat hingga akhirnya sikap pasrah akan berkembang sempurna.

Kemampuan menerima bukanlah suatu sikap yang pasif. Kita harus mengusahakannya dengan terus menerus mencoba menghadapi kenyataan. Sikap menerima tidak bisa muncul jika kita terus menerus menolak kenyataan yang ada di hadapan kita. Kemampuan menerima pun bukanlah bakat yang kita dimiliki melainkan suatu respon yang perlu dilatih.

Ketika musibah atau kegagalan menyapa kita bisa bilang, “Semua di bawah langit pasti akan berubah, yang semula ada pasti akan tidak ada, yang hilang akan kembali lagi…” dengan itu akan kita dapati, kita dalam kepasrahan dan dalam kesedihan akan tetap ada secuil senyuman kemenangan, kemenangan atas diri kita sendiri.

Menerima kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan mungkin tidak akan mengubah keadaan tetapi kita bisa mengontrol emosi yang bisa memperburuk keadaan. “Lakukanlah yang terbaik dimana kamu berdiri sekarang itu yang paling realistis”–Ikal–



Tatapan

Tatapan seberang pandangan
Tatapan nanar
Tatapan nakal
Namun…
Terlihat dalam tatapan
Setumpuk rindu
Setetes cinta
Lebur
Sulit diterjemahkan
Tak ingin mengartikan
Karena sebatas tatapan
Tatapan seberang pandangan