Dua Fragmen
Fragmen #1
Menerjemahkan (teks Arab)
Di sebuah bangku coklat, di akhir pekan mereka memanggul ransel dan menjinjing tas berisi kamus menuju kampus. Di akhir pekan memang tidak ada perkuliahan, tetapi mereka bermaksud menyelesaikan kewajiban. Senyum sumringah terbagi membawa atmosfir semangat yang berarti dan luar biasa. Mereka mengambil posisi, duduk, lalu mengeluarkan catatan, buku sakti berjenis Morfologi, Sintaksis, dan Komposisi. satu per satu soal dikupas tuntas bersama. Aktivitasnya seputar bolak-balik buka kamus, identifikasi pola kalimat, harakat, identifikasi asal kata, jenis kata, frasa lalu menerjemahkannya. Tak jarang harus menengok ‘a dictionary arabic grammar’ atau buku-buku ‘ajaib’ lainnya untuk memastikannya dan mengurangi peluang banyaknya kesalahan penerjemahan. Ya, itulah usaha mereka untuk mempelajari salah satu bahasa-bahasa yang ada di dunia, Bahasa Arab.
Fragmen #2
Seorang perempuan bertanya pada seorang anak kecil
A: ‘Ummimu kemana Dek?’
B: ‘Ummiku di rumah.’
Seorang cewek duduk di serambi sebuah Masjid Kampus di sapa oleh seorang ‘ahwat’
A: bisakah anaa duduk di samping anti?
C: bisa, silakan.
*sambil sedikit bergeser
A: Jazaa
C: *mlongo, muka bodoh
***
Terasa kontras, saat ada beberapa dari mereka mempelajari Bahasa Arab dengan usaha yang tidak mudah. Di sisi lain, banyak kesalan-kesalahan yang sudah membudaya.
Kosakata-kosakata berbahasa Arab yang banyak bermunculan ‘ummiku, ummimu, umminya, abiku, abimu, abinya’ secara pribadi, saat saya mendengarnya benar-benar menimbulkan kontras dalam otak saya. Di otak saya memproses, ‘abi’ yang berarti ayahku, yang telah memiliki tanda kepemilikan -ku, mengapa harus ditambah lekatan kepemilikan -ku, -mu, -nya? Begitu juga dengan ‘umi’. Secara otomatis, saya pun menerjemahkan (misal) ‘umminya’ yang berarti ibukunya.
Realitanya adalah, kata-kata itu bergeser menjadi kata umum, misal ‘ummi’ ya artinya sekadar ibu tanpa lekatan -ku, karena itu muncul kata ‘ummiku, ummimu, umminya’ padahal kata-kata ini belum diakui secara resmi sebagai Ejaan Yang Disempurnaan. Fenomena ‘ngarab’ ini seakan-akan hanya menjadi simbol identitas (golongan) yang menerapkannya.
Lalu kata jazaa, jika biasanya ‘terimakasih’ diucapakan dengan kata jazakumullah/jazakillah/jazakallah, maka otak saya ini masih bisa menerima maksud penutur bahwa ia mengucapakan terimakasih yang diselipkan dalam sebuah doa akan tetapi jika itu hanya diucapkan ‘jazaa’ maka otak saya menerima ucapan itu yang berarti ‘membalas/balasan’. Dalam benak saya ketika ada yang mengucapkan jazaa, saya pun bertanya ‘nih orang bilang ‘membalas’ untuk apa? untuk siapa?’
Lalu, apakah susah menyebutkan dalam bentuk sempurna jazakallah/jazakillah/jazakumullah ahsanal jazaa atau mungkin cukup jazakallah/jazakillah/jazakumullah dan tolong jangan didiskon lagi.
Ayolah, jika mengaku cinta dan suka dengan bahasa Arab, pelajari dan gunakan sesuai kaidah dan aturan main yang benar.
*ngusap pipi :'(