Merdeka!
“Pakne, sudah tho jangan ngrokok lagi.”
“Bune, Bune, rokok lagi, rokok lagi. Apa nggak ada yang lain untuk nyambut kedatangan Bapak? Bapak ini capek, Bune.”
“Makanya, Bapak berhenti ngrokok saja. Lihat anak-anak kita. Udah harus siap-siap untuk biaya sekolah mereka. Belum lagi, kita nggak pernah ngajak anak-anak untuk makan di luar atau jalan-jalan. Bisa makan sehari 3x aja udah syukur.”
“Makan di luar atau jalan-jalan emang nggak butuh duit, Bune? Duit dari mana?”
“Makanya, Bapak berhenti ngrokok.”
Wanita yang kunikahi hampir empat belas tahun yang lalu itu selalu saja menyudutkanku soal aktivitas merokokku. Merokok tak sekedar menghirup dan mengeluarkan setiap hisapan tembakau yang terbakar. Namun, aku benar-benar telah seperti lelaki sejati nan gagah setiap kali aku menikmatinya, lebih-lebih ditemani dengan secangkir kopi sambil duduk di lincak menikmati malam dan melepas penat setelah seharian kerja serabutan. Saat merokok itulah aku pikiranku menjadi segar, lebih bersemangat, dan yang terpenting besok aku harus menyiapkan tenaga untuk kerja sampingan. Yah, hidup di ibukota memang keras dan harus kreatif untuk mendapatkan uang. Memulung sampah, jadi tukang parkir dan jadi tukang panggilan untuk memperbaiki atap rumah yang bocor tidaklah seberapa. Jadi, aku harus pintar ubet.
Aku menggeser lincak yang sebelumnya berada di teras rumah ke depan rumah, ke sebuah halaman yang jauh dari kata luas. Aku bisa memandang langit malam, menikmati kopi dan rokok sambil kipas-kipas. Kali ini, pandanganku bertambah satu. Rumahku. Iya rumah yang tak mewah. Rumah yang ketika hujan akan bocor di mana-mana meski sudah ditambal. Rumah di mana ada anak-anak yang sangat menerima keadaan orangtuanya. Rumah di mana anak-anakku adalah siswa berprestasi di sekolahnya. Rumah di depan pandanganku ini bahkan jauh dari kata sederhana.
“Ternyata rumahku ini papan bagian depan sudah mulai rapuh karena waktu dan dimakan rayap.” Gumamku sambil terus menghisap rokok.
Aku terus memandangi rumahku, rumah yang kata orang-orang adalah surga. Tempat menyenangkan untuk semua anggota keluarga, surgaku seperti sudah tak layak huni. Kasihan istri dan anak-anakku, tapi mau bagaimana lagi, aku hanya orang dengan pekerjaan serabutan. Aku tak berani bermimpi terlalu tinggi untuk punya surga yang lebih baik lagi.
“Hmm, begini saja aku bahagia. Bisa ngrokok, ngopi, dan duduk di lincak.” Bisikku dalam hati.
***
Hari ini setelah keliling untuk mencari dan mengumpulkan barang bekas, aku mengambil rute yang berbeda dari biasanya. Biasanya dari sektor satu aku akan melewati perumahan caping menuju perempatan bonjol. Namun, petang ini aku mengambil rute melewati perempatan sektor tiga, nanti tinggal ambil kanan. Rute ini jauh lebih ramai daripada ketika melewati komplek perumahan. Lepas pukul tujuh malam, memang sepertinya puncak keramaian. Orang-orang punya alasan untuk keluar rumah bahkan ada yang menuju ke rumah dari kantor masing-masing.
Lepas Isya, jalanan semakin ramai. Tak hanya jalanan yang dipadati kendaraan, tetapi warung-warung makan pun tak kalah ramai dikerubuti para pelanggan. Mulai dari warung lesehan, warteg, warung makan sederhana hingga warung makan modern seperti kafe-kafe, tempat nongkrong orang-orang muda. Terlihat nikmat ketika melintas di depan kafe, aroma kopinya benar-benar memikat selera. Bayanganku, betapa bahagianya menikmati rokok-rokokku dan secangkir kopi berkualitas.
“Kapan aku bisa seperti itu?” Batinku mulai cemburu.
Aku terus berjalan sambil menarik gerobakku, menikmati malam ini dengan rute pulang yang berbeda meski perutku sudah sangat lapar. Aku hampir tak tahu kenapa aku memilih jalan yang memutar. Seakan ada yang menarikku melewati jalan ini. Melewati banyak warung makan yang berjejer menawarkan menu-menu andalannya. Melihatnya saja aku sudah sangat cemburu, tapi aku tak bisa apa-apa. Meskipun aku tak bisa makan di sana dan sesampainya di rumah selalu dapat ceramah dari istriku, yang penting aku bisa beli rokok. Udah, itu saja aku bahagia.
Perjalananku sejenak terhenti di sebuah warung makan bercat kuning hitam karena ada sebuah mobil yang sibuk mencari posisi yang pas untuk parkir. Sedikit memakan waktu beberapa saat. Setelah berjuang, akhirnya mobil mewah itu mendapat posisi yang pas di tempat parkir tanpa mengganggu jalan kendaraan yang sedang melintas. Aku terus mengamatinya. Setelah mobil berhenti, orang-orang yang di dalam mobil mewah itu keluar satu per satu. Pertama, aku melihat dua anak perempuan yang lincah keluar dari pintu belakang disusul dengan seorang anak laki-laki yang sudah pasti itu kakak dari anak perempuan yang lincah. Selanjutanya, ada seorang wanita yang keluar dari pintu depan sebelah kiri, memakai baju panjang berjilbab yang dipanggil mama oleh salah seorang dari anak perempuan yang lincah itu. Terakhir, seorang laki-laki bersih keluar dari pintu depan sebelah kanan, yang aku dengar dipanggil papa oleh seorang anak laki-laki. Mereka memasuki rumah makan yang ada di depanku “WAROENG STEAK AND SHAKE”, kuamati mereka memasukinya dengan wajah bahagia dari anak-anaknya.
“Mas, Mas, warung makan ini tempat makan untuk keluarga ya?”
“Nggak hanya keluarga, Pak. Anak muda juga ada yang makan di sini. Harga terjangkau dan ramah di kantong, dijamin halal dan enak.” Sambil mengangkat jempol tangannya, si mas tukang parkir menjawab dengan ramah.
Sepanjang perjalanan pulang, aku seperti sedang perang batin. Semua ingatan tumpah setelah sebelumnya berdesak-desakan di otakku. Bagaimana tidak? Aku teringat kata-kata istriku bahwa kami belum sekalipun mengajak anak-anak jalan-jalan atau makan di luar. Dia menyuruhku berhenti merokok agar jatah uang rokok bisa ditabung. Tapi, tapi, aku mencintai rokokku, bagaimana mungkin aku berhenti merokok? Jika berhenti merokok, aku akan sakit, lemas dan lidahku pahit. Aku tidak akan bersemangat lagi. Aku tidak akan tahu rasanya menikmati bahagia yang sederhana.
“Itu namanya egois, Pak. Anak-anak juga berhak bahagia.” Tiba-tiba suara nyaring istriku tempo hari terngiang-ngiang di telingaku.
“Ngajak makan di luar anak-anak juga gak harus tiap hari, Pak. Ambil kesempatan misal anak-anak habis terima rapor, mereka kan berprestasi, bikin kita bahagia. Udah jadi hak mereka kalau kita ngajak mereka makan.” Kata-kata istriku semakin membombardirku, semakin mengacak-acak batinku. Mengacaukan pikiranku. Memang benar kata istriku, tapi aku masih tidak bisa melepaskan rokokku.
Pikiranku semakin kacau, batinku semakin memberontak antara keinginan pribadiku dan keinginan membahagiakan anak-anak serta istriku. Sambil menarik gerobak yang setia menemaniku, di setiap sisa langkah menuju rumah, aku mulai menghitung pengeluaranku untuk membeli rokok. Aku mengalikannya, menjumlahkannya hingga aku dapati kenyataan bahwa ternyata pengeluaran untuk membeli rokok ternyata sangat besar. Namun, apa dayaku, rokok seakan sudah jadi kebutuhanku.
“Apa Bapak nggak sadar kalau bertahun-tahun Bapak itu hanya sedang mbakar duit? Udah ngrasa kaya?” Lagi-lagi kata-kata istriku menyerangku secara bertubi-tubi. Saat-saat seperti itu, aku teringat betapa istriku yang sabar berubah menjadi sangat garang.
Aku semakin terdesak dengan pikiran, perasaan, dan logikaku sendiri. Meskipun istriku berulang kali mengingatkan bahwa merokok hanya akan merenggut kesehatanku tapi selama ini aku merasa baik-baik saja. Pun tetangga kami yang lebih tua yang sudah merokok lebih lama dariku masih terlihat bugar hingga sekarang. Jadi aku tak termakan ancaman-ancaman seperti itu. Aku hanya ingin menikmati hidup lewat sebatang rokok.
***
“Bapak, Bapak, kenapa Bapak melamun?”
Aku tersentak saat anakku sedikit berteriak kegirangan memegang tanganku. Aku mengingat kembali dua bulan lalu, saat aku berada di depan “WAROENG STEAK AND SHAKE” sambil memandangi ketika sekeluarga masuk ke dalamnya. Betapa riang polah langkah anak-anaknya. Terlihat hangat dan bahagia, jauh dari keegoisan semata. Oh, ternyata begini rasanya, bahagia yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Senyum bahagia anak-anak yang tak biasa dan istriku yang semakin berkurang marah-marahnya.
Aku tahu, aku sampai bisa duduk di “WAROENG STEAK AND SHAKE” bersama keluargaku memang tidak mudah aku memperjuangkannya. Aku tak sekedar berjuang untuk berhenti merokok, tapi aku berjuang berdamai untuk tidak egois demi kebahagiaanku sendiri. Ya, karena kebahagian dalam sebuah keluarga itu adalah sama-sama merasa. Aku menyadari betapa benar kata-kata istriku bahwa aku seperti membakar uangku selama ini. Buktinya, selama dua bulan aku berjuang berhenti merokok, aku bisa mengajak istri dan anak-anakku makan enak di luar. Aku seakan baru menyadari bahwa rokok tak hanya mengancam kesehatan badan, tapi juga mengancam kesehatan kantong perekonomian keluarga. Semoga tak terlambat aku menyadarinya.
Meninggalkan rokok bukanlah hal yang mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin dilakukan. Ternyata aku hanya butuh tekad bulat. Ya, man jadda wa jadda. Di mana ada kemauan, pasti ada jalan. Ada kemudahan yang Allah berikan. Apalagi ini aku lakukan untuk keluargaku. Aku sebagai kepala keluarga, sebagai teladan bagi anak-anakku maka aku akan selalu berharap keinginan dan tekadku ini semakin kuat. Tidak akan tergoda lagi pada rokok.
“Bapak ingin makan apa? Kami udah pilih makanan yang ingin kami makan.” Kata si sulung dengan polah cerianya.
“Iya, Bapak pilih sekarang.”
“Bapak, terimakasih atas usaha Bapak untuk merdeka dari rokok. Ibu sayang Bapak.” Bisik istriku di antara keriangan anak-anak.
Ya, aku merdeka. Badanku merdeka. Kantongku pun merdeka. Merdeka!
mantap tulisannya, menasihati perokok dengan cara yang manis dan mengena. tulisan berikutnya saya request tentang mengurangi gula untuk kesehatan ya, soalnya gula jauh lebih membunuh daripada rokok, tapi belum banyak yang -berani- mengampanyekan
makasi Uncle Ik untuk masukannya, semoga bisa segera rilis tulisan tentang gula yaa ^^